Sejarah
Periodisasi
James Mill (1773–1836), dalam bukunya
The History of British India (1817), membagi sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania. Periodisasi ini menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya. Periodisasi lainnya memilah-milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern. Smart dan Michaels tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,
[j] sedangkan Flood dan Muesse mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.
Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:
- Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik". Itu merupakan periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[k]
Jainisme, dan Buddhisme. Menurut Smart, "periode klasik" berlangsung
dari 100 M hingga 1000 M, dan bertepatan dengan suburnya "Hinduisme
Klasik", serta pertumbuhan dan kemunduran Buddha Mahayana di India.
- Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa "Reformisme Asketis",
sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M adalah masa "Hinduisme
Klasik", karena adanya titik balik antara agama Weda dan agama Hindu.
- Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu
antara 800 SM dan 200 SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik".
Menurut Muesse, beberapa konsep dasar agama Hindu, yaitu karma,
reinkarnasi, serta pencerahan dan transformasi seseorang—yang tidak
ditemui dalam agama Weda—berkembang pada periode tersebut.
Smart |
Michaels |
Muesse |
Flood |
Umum |
Detail |
Peradaban Lembah Sungai Indus
dan
Periode Weda
(kr. 3000 – 1000 SM) |
Agama-Agama Pra-Weda
(prasejarah – kr. 1750 SM) |
Peradaban Lembah Sungai Indus
(3300 – 1400 SM) |
Peradaban Lembah Sungai Indus
(kr. 2500 – 1500 SM) |
Agama Weda Kuno
(kr. 1750 – 500 SM) |
Periode Weda Awal
(kr. 1750 – 1200 SM) |
Periode Weda
(1600 – 800 SM) |
Periode Weda
(kr. 1500 – 500 SM) |
Periode Weda Pertengahan
(dari 1200 SM) |
Periode Praklasik
(kr. 1000 SM – 100 M) |
Periode Weda Akhir
(dari 850 SM) |
Periode Klasik
(800 – 200 SM) |
Reformisme Asketis
(kr. 500 – 200 SM) |
Periode Epos dan Purana
(kr. 500 SM – 500 M) |
Hinduisme Klasik
(kr. 200 SM – 1100 M) |
Hinduisme Praklasik
(kr. 200 SM – 300 M) |
Periode Epos dan Purana
(200 SM – 500 M) |
Periode Klasik
(kr. 100 M – 1000 M) |
"Zaman Kejayaan"
(Kemaharajaan Gupta)
(kr. 320 – 650 M) |
Hinduisme-Klasik Akhir
(kr. 650 – 1100 M) |
Periode-Purana Pertengahan dan Akhir
(500 – 1500 M) |
Periode-Purana Pertengahan dan Akhir
(500 – 1500 M) |
Peradaban Hindu-Islam
(kr. 1000 – 1750 M) |
Penaklukan Muslim dan
Kemunculan Sekte-Sekte Hinduisme
(kr. 1100 – 1850 M) |
Abad Modern
(1500 – kini) |
Abad Modern
(kr. 1500 – kini) |
Periode Modern
(kr. 1750 – kini) |
Hinduisme Modern
(sejak kr. 1850) |
Agama-Agama Pra-Weda
Ras manusia pertama yang menduduki
India (
kr. 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat periode
Paleolitik) adalah
Australoid yang mungkin memiliki hubungan dengan
penduduk asli Australia.
[246] Ada dugaan bahwa ras tersebut hampir punah atau terdesak oleh gelombang migrasi pada masa berikutnya.
Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras
Kaukasoid (meliputi bangsa
Elamo-Dravida [
kr. 4000 hingga
6000 SM] dan
Indo-Arya [
kr. 2000 hingga
1500 SM]) dan
Mongoloid (
Sino-Tibet) bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida
[l] ada kemungkinan berasal dari
Elam, kini merupakan wilayah
Iran.
Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama Hindu
[m]—berasal dari zaman
mesolitik dan
neolitik.
Beberapa agama suku di India masih bertahan, mendahului dominansi agama
Hindu, namun tidak harus dianggap bahwa ada banyak kemiripan antara
masyarakat suku pada zaman prasejarah dengan masa kini.
[256]
Menurut
antropolog Gregory Possehl,
peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM) mengandung titik pangkal yang logis, atau mungkin
arbitrer, bagi beberapa aspek pada tradisi Hindu di kemudian hari. Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan kepada Dewa Yang Mahakuasa, yang dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama
John Marshall) sebagai
proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu Dewi, yang mendasari figur
Sakti.
Praktik-praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang
berlanjut ke periode Weda meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan
tetapi, hubungan antara dewa-dewi dan praktik agama lembah sungai Indus
dengan agama Hindu masa kini telah menjadi subjek perselisihan politis
serta perdebatan para ahli.
Periode Weda
Periode Weda—yang berlangsung dari
kr. 1750 sampai 500 SM
[n]—disebut demikian karena berdasarkan agama berbasis
Weda yang dianut oleh bangsa
Indo-Arya,
[o] yang bermigrasi ke India barat daya setelah mundurnya peradaban lembah sungai Indus (ada kemungkinan dari
stepa Asia Tengah). Bangsa ini membawa serta bahasa dan agama mereka. Agama mereka berkembang lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran
India Utara setelah
kr. 1100 SM dan menjadi pastoralis.
Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal dari bahan-bahan
agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis),
[270] sastra yang mendasari tradisi pada masa itu adalah
Weda Samhita, sehingga periode tersebut dinamai demikian. Kitab tertua di antara sastra
Weda tersebut adalah
Regweda, yang diperkirakan telah disusun pada periode 1700–1100 SM.
[p] Sastra
Weda memusatkan pemujaan kepada para dewa seperti
Indra,
Baruna, dan
Agni, serta melangsungkan upacara
Soma. Kurban dengan api, yang disebut
yadnya (
yajña) dilaksanakan dengan merapalkan
mantra-mantra Weda. Sastra
Weda
dikodifikasi ketika bangsa Indo-Arya mulai menduduki dataran India
Utara yang subur, kemudian melakukan transisi dari masyarakat
penggembala menuju masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan
organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul. Masyarakat baru tersebut
melibatkan penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur
tersebut. Mereka dimasukkan ke dalam
sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas politik dan keagamaan berada di tangan kaum
brahmana dan
kesatria.
Selama Periode Weda Awal (
kr. 1500–1100 SM), suku-suku penganut
Weda merupakan suku penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut. Setelah 1100 SM, seiring ditemukannya
besi, suku-suku penganut
Weda berpindah ke dataran India Utara sebelah barat, dan mengadaptasi gaya hidup agraris. Bentuk-bentuk wilayah berdaulat yang belum sempurna mulai muncul, dan yang paling menonjol atau berpengaruh adalah kerajaan
suku Kuru. Kerajaan tersebut merupakan ikatan kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi masyarakat setingkat
negara—yang pertama kali tercatat dalam sejarah
Asia Selatan—sekitar 1000 M.
Secara terang-terangan, mereka mengubah warisan budaya dari Periode
Weda sebelumnya, mengumpulkan himne-himne Weda menjadi suatu himpunan,
dan mengembangkan upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban
India sebagai upacara-upacara
srauta, yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis Hindu".
Pada
abad ke-9 dan
ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-kitab
Upanishad tertua.
[279] Upanishad membentuk suatu dasar teoritis bagi Hinduisme Klasik dan dikenal sebagai
Wedanta (kesimpulan dari
Weda). Kitab-kitab
Upanishad kuno menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah. Spekulasi
monistis yang beragam dari ajaran
Upanishad disintesiskan menjadi suatu kerangka teistis dalam kitab suci Hindu
Bhagawadgita.
Etika dalam kitab-kitab
Weda berdasarkan konsep
satya dan
reta. Satya adalah prinsip
integrasi
yang berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang
meregulasi dan mengkoordinasi jalannya alam semesta beserta segala
sesuatu di dalamnya.
Kesesuaian dengan reta akan memungkinkan sesuatu berjalan sebagaimana
mestinya, sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan hal yang tidak
diinginkan. Istilah
dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang dipandang sebagai aspek dari reta. Istilah reta juga dikenal dalam
agama Proto-Indo-Iran, yaitu agama orang-orang
Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab
Weda (Indo-Aryan) dan
Zoroastrianisme (Iran).
Asha (
aša) adalah istilah dalam
bahasa Avesta yang mirip dengan
ṛta dalam
Weda.
Kitab-kitab
Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata mengungkapkan gagasan atau praktik yang populer. Agama berbasis
Weda pada periode selanjutnya hadir berdampingan dengan agama-agama lokal—seperti pemujaan
Yaksa[289]—dan ia sendiri merupakan hasil dari campuran antara kebudayaan
Indo-Arya dengan
Harrapa.
Reformisme Asketis
Dua tokoh terkemuka dari golongan
Sramana, tradisi yang tidak mengakui kewenangan sastra
Weda. Di kemudian hari, Mahavira menjadi figur utama dalam
Jainisme, sedangkan Siddhartha Gautama dalam
Buddhisme.
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Sramana
Peningkatan urbanisasi di India pada
abad ke-7 dan
ke-6 SM telah mendukung terjadinya gerakan
asketis atau
Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai upacara.
Mahavira (
kr. 549–477 SM, pemuka
Jainisme) dan
Buddha Gautama (
kr. 563–483 SM, penggagas tradisi
Buddhisme) adalah tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut. Menurut
Heinrich Zimmer, Jainisme dan Buddhisme adalah bagian dari warisan kebudayaan pra-Weda, yang juga meliputi
Samkhya dan
Yoga:
Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya]
Brahman-
Arya,
[q] tetapi mencerminkan
kosmologi dan
antropologi
masyarakat kuno pra-Arya golongan atas [yang tinggal] di India bagian
timur laut – dengan berpangkal pada dasar-dasar yang sama tentang
spekulasi
metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya, dan Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India lainnya yang tidak berbasis Weda.
[r]
Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan kematian (siklus
reinkarnasi), konsep
samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari reinkarnasi tersebut), yang menjadi karakteristik Hinduisme.
[294]
James B. Pratt dalam bukunya
The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist Pilgrimage menulis bahwa
Oldenberg (1854–1920),
Neumann (1865–1915), dan
Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa
Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari kitab-kitab
Upanishad, sedangkan
la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan pengaruh apa pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu, Sang Buddha menyatakan
antitesis secara langsung kepada
Upanishad.
Hinduisme Klasik
Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan dengan zaman kejayaan Hindu pada masa
Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode Hinduisme Klasik Akhir. Periode Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan agama
Islam ke
Asia Selatan, lalu diikuti dengan pendirian aliran atau sekte dalam agama Hindu.
Hinduisme Praklasik
Pada periode dari 500 hingga 200 SM, dan
kr. 300 M, terjadi "sintesis Hindu", yang menyerap pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha, serta kemunculan tradisi
bhakti dalam balutan Brahmanisme melalui pustaka
Smerti. Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan agama Buddha dan Jainisme.
Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan agama berbasis
Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di bawah naungan agama Weda. Ketika Brahmanisme mulai kehilangan pamornya dan harus bersaing dengan Buddhisme dan Jainisme, agama-agama yang populer mendapat kesempatan untuk menonjolkan ajarannya. Menurut Embree:
Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas
perkembangan [agamanya] sebagai maksud untuk menghadapi gempuran
aliran-aliran yang lebih
heterodoks. Pada saat yang sama, di kalangan agama-agama pribumi yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan sastra
Weda
telah memberikan suatu tali persatuan yang tipis—namun begitu
signifikan—di antara kemajemukan dewa-dewi dan praktik keagamaan [yang
ada].
[s]
Menurut Larson, para
brahmana menanggapinya dengan
asimilasi dan
konsolidasi. Hal tersebut tercerminkan dalam pustaka
Smerti yang mulai disusun pada periode itu. Kitab-kitab Smerti dari periode 200 SM–100 M mempermaklumkan kewenangan
Weda, sehingga pengakuan terhadap kewenangan
Weda menjadi kriteria utama untuk membedakan Hinduisme dengan aliran
heterodoks yang menolak
Weda.
Sebagian besar gagasan dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal dari
pustaka Smerti, yang kemudian menjadi inspirasi dasar bagi kebanyakan
umat Hindu.
Dua
wiracarita India terkemuka—
Ramayana dan
Mahabharata—yang tergolong ke dalam Smerti, disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan awal zaman Masehi.
[302]
Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para pemimpin dan
peperangan pada zaman India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan
ajaran agama. Sastra
Purana yang disusun pada masa berikutnya mengandung cerita tentang
para dewa-dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan pertempuran mereka melawan para
rakshasa. Kitab
Bhagawadgita memperkuat keberhasilan konsolidasi agama Hindu, dengan memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan Sramana menjadi suatu kebaktian yang
teistis.
[305]
Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab
filsafat Hindu dikodifikasikan secara formal, meliputi
Samkhya,
Yoga,
Nyaya,
Waisesika,
Purwamimamsa, dan
Wedanta.
[306]
"Zaman Kejayaan"
Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring
dengan berkembangnya perdagangan ke negeri yang jauh, standardisasi
prosedur legal, dan pemberantasan buta huruf.
Buddhisme aliran
Mahayana menyebar, sedangkan kebudayaan Brahmana ortodoks mulai disegarkan kembali di bawah perlindungan Dinasti Gupta, yang dipimpin para raja penganut
Waisnawa. Kedudukan para brahmana diperkuat kembali dan
kuil-kuil Hindu mulai didirikan sebagai dedikasi untuk
dewa-dewi Hindu. Selama pemerintahan Dinasti Gupta, sastra
Purana
mulai ditulis, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di
kalangan masyarakat pribumi dan buta huruf yang menjalani akulturasi. Para raja Gupta melindungi tradisi Purana yang mulai berkembang demi perbawa wangsa mereka. Hal ini menyebabkan timbulnya Hinduisme-Puranis (
Puranic Hinduism), yang berbeda dengan
Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada
Dharmasastra dan Smerti.
Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan tradisi
bhakti yang tumbuh sangat cepat, bermula di
Tamil Nadu (
India Selatan). Para
Nayanar dari aliran
Saiwa (abad ke-4 – ke-10)
[311] serta para
Alwar dari aliran
Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi
bhakti ke berbagai penjuru India dari abad ke-12 hingga ke-18.
[311]
Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi
intelektual—kurun waktu paling gemilang dalam perkembangan filsafat
India, ketika filsafat Hindu dan Buddha tumbuh subur secara
berdampingan.
Carwaka, mazhab
materialisme ateistis, tampil di
India Utara sebelum abad ke-8.
Hinduisme Klasik Akhir
Setelah runtuhnya
kemaharajaan Gupta dan
Harsha, kekuasaan di India mengalami
desentralisasi. Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan
negeri taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin dengan sistem
feodal.
Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih besar.
Maharaja sulit dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan, sebagaimana yang digambarkan dalam
mandala Tantra, dan kadangkala raja digambarkan sebagai pusat mandala.
Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta persaingan religius. Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh Hinduisme-Brahmanis ritualistis (
ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang. Gerakan rakyat dan kebaktian mulai bermunculan, seiring dengan [tumbuhnya] aliran
Saiwa,
Waisnawa,
Bhakti, dan
Tantra, meskipun pengelompokan menurut sekte hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-aliran tersebut. Gerakan keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari penguasa lokal. Agama Buddha kehilangan pamornya setelah
abad ke-8, lalu mulai memudar di India. Hal tersebut tersirat dari penghentian ritus
puja Buddhis di lingkungan istana-istana India pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu menggantikan peran
Buddha sebagai pelindung kerajaan.
Sastra
Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di kalangan masyarakat pribumi yang mengalami
akulturasi. Seiring dengan
dadal yang dialami Dinasti Gupta,
tanah-tanah perawan
dikumpulkan oleh para brahmana, yang tidak hanya menjamin keuntungan
agraris dari eksploitasi tanah yang dimiliki para raja, tetapi juga
memberikan status bagi kelas penguasa yang baru.
Para brahmana menyebar ke berbagai penjuru India, berinteraksi dengan
warga lokal yang menganut kepercayaan dan ideologi berbeda. Para
brahmana menggunakan
Purana untuk mengajak berbagai klan menjadi masyarakat agraris, serta mengikuti agama dan ideologi para brahmana. Menurut Flood, para brahmana yang mengikuti agama berbasis
Purana kemudian dikenal sebagai
Smarta, artinya orang yang bersembahyang berdasarkan
Smerti, atau
Pauranika, yaitu penganut
Purana. Kepala suku dan warga lokal diserap ke dalam
sistem warna, demi mengendalikan tindak tanduk kaum "
kesatria dan
sudra baru" tersebut.
Kelompok-kelompok brahmana semakin besar dengan mengikutsertakan orang
lokal, seperti pendeta dan rohaniwan lokal. Hal ini mengarah ke
stratifikasi bagi kaum brahmana, sehingga ada golongan brahmana yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan brahmana lainnya. Penarapan sistem kasta lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-aliran
Sramana (Buddha atau Jaina). Pustaka
Purana mencantumkan suatu
riwayat silsilah yang luas sehingga dapat memberikan status
kesatria baru bagi suatu golongan. Sementara itu,
ajaran Buddha menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara orang yang terpilih dengan rakyat, dan
chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda dengan model penaklukkan yang dilakukan para kesatria dan kaum
Rajput Hindu.
Lukisan
Kresna sebagai
Gowinda atau "pelindung para sapi", dari abad ke-19.
Brahmanisme berdasarkan pustaka
Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi radikal di tangan para penyusun
Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis (
Puranic Hinduism), bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan", yang kemudian melintangi segala agama-agama yang ada.
Hinduisme Puranis merupakan sistem kepercayaan yang terdiri dari banyak
bagian yang tumbuh dan meluas dengan menyerap dan memadukan
gagasan-gagasan bertentangan dan berbagai tradisi pemujaan. Agama ini berbeda dengan Smarta yang menjadi pangkalnya. Perbedaan itu terletak pada ketenaran,
pluralisme teologis, pluralisme sekte, pengaruh
Tantra, dan pengutamaan
bhakti.
Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme Puranis.
Wisnu dan
Siwa tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan dengan
Sakti/
Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya menimbulkan kultus
Narayana,
Jagatnata,
Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:
Beberapa
inkarnasi Wisnu seperti
Matsya,
Kurma,
Waraha, dan bahkan
Narasinga membantu pemaduan simbol-simbol
totem
populer dan mitos penciptaan, khususnya yang berkaitan dengan babi
hutan, yang umumnya meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan
[inkarnasi] lainnya seperti
Kresna dan
Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan mitos lokal yang berpusat pada dewa-dewa pedesaan dan pertanian.
[t]
Rama dan
Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi
bhakti, yang terutama diungkapkan dalam
Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa kultus berbasis
naga,
yaksa, bukit, dan pepohonan. Siwa menyerap kultus-kultus lokal dengan menambahkan kata
Isa atau
Iswara pada nama dewa-dewa lokal, contohnya
Buteswara,
Hatakeswara,
Candeswara. Dalam lingkungan keluarga raja pada abad ke-8, puja terhadap
Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi Hindu. Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah satu
awatara Wisnu.
Mazhab
Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh
agama Buddha—dirumuskan kembali oleh
Adi Shankara dengan membuat sistematisasi karya-karya para filsuf pendahulunya. Pada masa kini, karena pengaruh
Orientalisme Barat dan
Perenialisme terhadap
Neo-Wedanta India dan
nasionalisme Hindu,
Adwaita Wedanta mendapatkan sambutan yang luas dalam kebudayaan India
dan di luar India sebagai contoh paradigmatis dari spiritualitas Hindu.
Kehadiran Islam dan sekte Hindu
Reruntuhan Candi
Somnath
pada tahun 1869. Candi ini pernah didirikan dan dihancurkan
berkali-kali selama periode penaklukan muslim di India, sampai akhirnya
dipugar pada tahun 1951.
Meskipun
Islam sudah datang ke
India sejak awal
abad ke-7 (seiring dengan kedatangan para pedagang Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi agama utama selama periode
penaklukan Islam di Asia Selatan pada masa selanjutnya.
[330] Pada periode tersebut,
agama Buddha memudar secara drastis, dan banyak
umat Hindu pindah agama ke Islam. Banyak penguasa muslim beserta panglimanya, seperti
Aurangzeb dan
Malik Kafur yang menghancurkan tempat ibadah umat Hindu dan
menindas kaum non-muslim;
[333][334] akan tetapi, beberapa penguasa muslim seperti
Akbar bersikap lebih toleran.
Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh Guru
Ramanuja yang terkemuka, serta Guru
Madhwa, dan Sri
Caitanya.
[330] Pengikut
gerakan Bhakti beralih dari konsep
Brahman yang abstrak—yang dianjurkan oleh filsuf
Adi Shankara berabad-abad sebelumnya—dengan tradisi kebaktian yang lebih bersemangat terhadap pemujaan para
awatara yang lebih mudah dibayangkan, terutama
Kresna dan
Rama.
[335] Menurut Nicholson, antara
abad ke-17 dan
ke-16, beberapa cendekiawan tertentu mulai menarik
benang merah pada kanekaragaman ajaran filosofis dalam
Upanishad,
wiracarita,
Purana, dan mazhab filsafat yang dikenal sebagai "enam sistem" (
saddarsana) dari
filsafat Hindu yang umum. Lorenzen menentukan bahwa asal mula identitas ke-Hindu-an yang khas berawal dari interaksi antara
muslim dan
umat Hindu, dan dari suatu proses pencarian jati diri yang membedakan diri dengan muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an. Baik cendekiawan India atau pun Eropa—yang mempopulerkan istilah "Hinduisme" pada
abad ke-19—telah mendapat pengaruh dari filsafat tersebut. Michaels menggarisbawahi bahwa
historisasi muncul sebelum nasionalisme di kemudian hari, yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.
Hinduisme masa kini
Di tengah kekuasaan
British Raj (penjajahan
Inggris atas
India),
Renaisans Hindu mulai bangkit pada
abad ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan agama Hindu, baik di India atau pun di Barat.
Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian kebudayaan India dari sudut pandang
Eropa) didirikan pada abad ke-19, dipimpin oleh para ahli seperti
Max Müller dan
John Woodroffe. Mereka memboyong filsafat dan pustaka
Weda,
Purana, dan
Tantra ke Eropa. Para
orientalis mencari-cari "hakikat" agama-agama di India, dan menemukannya pada pustaka
Weda,
sambil membuat gagasan bahwa "Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari
berbagai adat keagamaan dan gambaran populer mengenai ‘India yang
mistis’. Gagasan tersebut diambil alih oleh beberapa
gerakan reformasi Hindu seperti
Brahmo Samaj, yang didukung untuk sesaat oleh
Gereja Unitarian, bersama dengan gagasan
Universalisme dan
Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama memiliki dasar
mistisisme yang sama.
"Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka seperti
Vivekananda,
Aurobindo, serta
Radhakrishnan menjadi panutan dalam pemahaman populer mengenai agama Hindu.
Tokoh Hindu yang berpengaruh pada
abad ke-20 adalah
Ramana Maharshi,
B.K.S. Iyengar,
Paramahansa Yogananda,
Swami Prabhupada (pendiri
ISKCON),
Sri Chinmoy, dan
Swami Rama,
yang menerjemahkan, merumuskan ulang, dan memperkenalkan pustaka dasar
agama Hindu bagi khalayak awam masa kini dengan imla yang baru,
mengangkat pandangan tentang
Yoga dan
Wedanta di
Dunia Barat, serta menarik pengikut baru dan perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.
Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai
kekuatan politis dan acuan bagi jati diri bangsa India. Sejak pendirian
Hindu Mahasabha pada 1910-an, banyak gerakan bertumbuh dengan perumusan dan perkembangan ideologi
Hindutva pada dekade-dekade berikutnya; pendirian
Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan percabangan RSS—yang kemudian berhasil—yaitu
Jana Sangha dan
Bharatiya Janata Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa pascakemerdekaan India.
[346] Religiositas Hindu juga memainkan peran penting dalam gerakan nasionalis.
Pranata
Caturwarna
Masyarakat Hindu dikategorikan menjadi empat kelas, disebut
warna, yaitu sebagai berikut:
- Brahmana: pendeta dan guru kerohanian
- Kesatria: bangsawan, pejabat, dan tentara
- Waisya: petani, pedagang, dan wiraswasta
- Sudra: pelayan dan buruh
Kitab
Bhagawadgita menghubungkan
warna dengan kewajiban seseorang (
swadharma), pembawaan (
swabhāwa), dan kecenderungan alamiah (
guṇa).
[84] Berdasarkan pengertian
warna menurut
Bhagawadgita, tokoh spiritual Hindu
Sri Aurobindo membuat doktrin bahwa pekerjaan seseorang semestinya ditentukan oleh bakat dan kapasitas alaminya. Dalam kitab
Manusmerti terdapat pengelompokan kasta-kasta yang berbeda.
[350]
Mobilitas dan fleksibitas dalam warna menampik dugaan diskriminasi
sosial dalam sistem kasta, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa
sosiolog,
[351] meskipun beberapa ahli tidak sependapat. Para ahli memperdebatkan apakah
sistem kasta merupakan bagian dari Hinduisme yang diatur oleh kitab suci, ataukah sekadar adat masyarakat.
[354][355][u] Berbagai ahli berpendapat bahwa sistem kasta dibangun oleh
rezim kolonial Britania. Menurut guru rohani Hindu
Sri Ramakrishna (1836–1886):
Para pencinta Tuhan tidak tergolong dalam kasta
tertentu … Seorang brahmana tanpa cinta pada Tuhan bukanlah brahmana
lagi. Dan seorang
paria tanpa cinta pada Tuhan bukanlah paria lagi. Melalui
bhakti (pengabdian kepada Tuhan), seorang hina dina dapat menjadi suci dan derajatnya pun meningkat.
[358]
Menurut sastra
Wedanta, orang yang berada di luar warna disebut "
warnatita". Para ahli seperti
Adi Sankara menegaskan bahwa tidak hanya
Brahman
yang melampaui seluruh warna, namun seseorang yang dapat bersatu
dengan-Nya juga dapat melampaui seluruh perbedaan dan pembatasan
kasta-kasta.
Jenjang kehidupan
Upacara pernikahan umat Hindu menurut adat di
Orissa,
India.
Secara tradisional, kehidupan umat Hindu terbagi menjadi empat
āśrama atau
caturasrama (empat fase atau empat tahapan). Bagian pertama dalam kehidupan seseorang adalah
Brahmacari,
yaitu masa menuntut ilmu. Tahap ini dilaksanakan sebelum masa kawin,
untuk dapat berkontemplasi secara murni dan bijaksana di bawah bimbingan
Guru, demi membangun pikiran dan fondasi spiritual. Tahap berikutnya adalah
Grehasta, yaitu tahap membangun kehidupan rumah tangga, dilaksanakan dengan cara menikah dan memenuhi
kāma (kenikmatan indria) dan
arta
(kemakmuran). Setelah berumah tangga, kewajiban moral yang dilaksanakan
meliputi: mengasuh anak, merawat orang tua, menghormati tamu dan orang
suci.
Setelah berumah tangga dalam jangka waktu tertentu, umat Hindu kemudian menempuh tahap
Wanaprasta,
yaitu masa pensiun atau masa melepaskan diri dari kesibukan duniawi.
Tahap ini dapat dilaksanakan dengan cara menyerahkan tanggung jawab
kepada keturunan, agar pensiunan mendapatkan lebih banyak kesempatan
untuk melakukan aktivitas keagamaan dan mengunjungi tempat-tempat suci.
Tahap yang terakhir adalah
Sannyasa,
yaitu masa menghabiskan sisa hidup dengan melakukan tapa brata, atau
berusaha melepaskan diri dari ikatan duniawi. Pelepasan tersebut
dilakukan dalam rangka menemukan Tuhan, serta untuk mencari cara
meninggalkan tubuh fana secara damai, agar mencapai suatu kondisi yang
disebut
moksa.
[359]
Praktik keagamaan
Praktik keagamaan Hindu biasanya bertujuan untuk mencari kesadaran
akan Tuhan, dan kadangkala mencari anugerah dari para dewa. Maka dari
itu, ada beragam praktik keagamaan dalam tubuh Hinduisme yang
dimaksudkan untuk membantu seseorang dalam upaya memahami Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari.
Persembahyangan
Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, umat Hindu biasanya mengucapkan
mantra.
Mantra adalah seruan, panggilan, atau doa yang membantu umat Hindu agar
dapat memusatkan pikiran kepada Tuhan atau dewa tertentu, melalui
kata-kata, suara, dan cara pelantunan. Pada pagi hari, di tepi sungai
yang dikeramatkan, banyak umat Hindu yang melaksanakan upacara
pembersihan sambil melantunkan
Gayatri Mantra atau mantra-mantra
Mahamrityunjaya. Wiracarita
Mahabharata mengagungkan
japa (lagu-lagu pujaan) sebagai kewajiban terbesar pada masa
Kaliyuga (zaman sekarang,
3102 SM–kini).
[361] Banyak aliran yang mengadopsi
japa sebagai praktik spiritual yang utama.
[361]
Praktik spiritual Hindu yang cukup populer adalah
Yoga.
Yoga merupakan ajaran Hindu yang gunanya melatih kesadaran demi
kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual. Hal ini dilakukan melalui
seperangkat latihan dan pembentukan posisi tubuh untuk mengendalikan
raga dan pikiran.
[362]
Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-lagu pujian. Praktik ini memiliki bentuk beragam: dapat berupa
mantra semata atau
kirtan, atau berupa
dhrupad atau
kriti dengan musik berdasarkan
raga dan
tala menurut
musik klasik India.
[363] Biasanya,
bhajan mengandung syair untuk mengungkapkan cinta kepada Tuhan. Istilah tersebut sepadan dengan
bhakti yang artinya "pengabdian religius", menyiratkan pentingnya
bhajan bagi
gerakan bhakti yang menyebar dari India bagian selatan ke seluruh subkontinen India pada masa
Moghul.
Penggalan cerita dari kitab suci, ajaran para orang suci, serta deskripsi para dewa telah menjadi subjek bagi pelaksanaan
bhajan. Tradisi
dhrupad,
qawwali Sufi, dan
kirtan atau lagu dalam tradisi
Haridasi berkaitan dengan
bhajan.
Nanak,
Kabir,
Meera,
Narottama Dasa,
Surdas, dan
Tulsidas adalah para pujangga
bhajan terkemuka. Tradisi dalam
bhajan
seperti Nirguni, Gorakhanathi, Vallabhapanthi, Ashtachhap,
Madhura-bhakti, dan Sampradya Bhajan dari India Selatan memiliki
repertoar dan cara pelantunan masing-masing.
Upacara
Upacara
choroonu (nama lain dari
annaprashan) di
Kerala.
Banyak umat Hindu dari berbagai aliran yang melaksanakan ritual keagamaan sehari-hari.
[366] Banyak umat Hindu yang melaksanakannya di rumah,
[367]
tetapi pelaksanaannya berbeda-beda tergantung daerah, desa, dan
kecenderungan umat itu sendiri. Umat Hindu yang saleh melaksanakan
ritual sehari-hari seperti sembahyang subuh sehabis mandi (biasanya di
kamar suci/tempat suci keluarga, dan biasanya juga diiringi dengan
menyalakan pelita serta menghaturkan sesajen ke hadapan arca dewa-dewi),
membaca kitab suci berulang-ulang, menyanyikan lagu-lagu pemujaan,
meditasi, merapalkan mantra-mantra, dan lain-lain.
[367]
Ciri menonjol dalam ritual keagamaan Hindu adalah pembedaan antara yang
murni dan sudah tercemar. Ada aturan yang mengisyaratkan bagaimana
kondisi-kondisi yang dikatakan tercemar atau tak murni lagi, sehingga
pelaksana upacara harus melakukan pembersihan atau pemurnian kembali
sebelum upacara dimulai. Maka dari itu, penyucian—biasanya dengan
air—menjadi ciri umum dalam kebanyakan aktivitas keagamaan Hindu.
[367]
Ciri lainnya meliputi kepercayaan akan kemujaraban upacara dan konsep
pahala yang diperoleh melalui kemurahan hati atau keikhlasan, yang akan
bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu sehingga mengurangi penderitaan di
kehidupan selanjutnya.
[367]
Ritus dengan sarana api (
yadnya)
kini tidak dilakukan sesering mungkin, meskipun pelaksanaannya sangat
diagungkan dalam teori. Akan tetapi, dalam upacara pernikahan dan
pemakaman adat Hindu, pelaksanaan yadnya dan perapalan
mantra-mantra Weda masih disesuaikan dengan norma.
[368]
Beberapa upacara juga berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai
contoh, pada masa beberapa abad yang lalu, persembahan tarian dan musik
sakral menurut kaidah
Sodasa Upachara yang standar—sebagaimana tercantum dalam
Agamashastra—tergantikan oleh persembahan dari nasi dan gula-gula.
Peristiwa seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian melibatkan
seperangkat tradisi Hindu yang terperinci. Dalam agama Hindu, upacara
bagi "siklus kehidupan" meliputi
Annaprashan (ketika bayi dapat memakan makanan yang keras untuk pertama kalinya),
Upanayanam (pelantikan anak-anak kasta menengah ke atas saat mulai menempuh pendidikan formal), dan
Śrāddha
(upacara menjamu orang-orang dengan makanan karena bersedia melantunkan
doa-doa kepada "Tuhan" agar jiwa mendiang mendapatkan kedamaian).
[369][370]
Untuk perihal pernikahan, bagi sebagian besar masyarakat India, masa
pertunangan pasangan muda-mudi serta tanggal dan waktu pernikahan
ditentukan oleh para orang tua dengan konsultasi ahli perbintangan.
[369] Untuk perihal kematian,
kremasi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kerabat mendiang, kecuali bila mendiang adalah
sanyasin,
hijra,
atau anak di bawah lima tahun. Biasanya, kremasi dilakukan dengan
membungkus jenazah dengan pakaian terlebih dahulu, lalu membakarnya
dengan api unggun.
Ahimsa
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Ahimsa
Umat Hindu menganjurkan praktik
ahimsa (
ahiṃsā; artinya "tanpa kekerasan") dan penghormatan kepada seluruh bentuk kehidupan karena mereka meyakini bahwa "
percikan dari Tuhan" juga meresap ke dalam setiap makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan hewan.
[371] Istilah ahimsa disebutkan dalam kitab-kitab
Upanishad[372] dan wiracarita
Mahabharata. Ahimsa adalah yang pertama di antara lima
yama (
pancayamabrata; lima prinsip pengendalian diri) dalam
Yogasutra Patanjali, dan menjadi prinsip pertama bagi seluruh anggota
Warnasramadarma (brahmana, ksatria, waisya, dan sudra) menurut
Manusmerti.
[374]
Konsep ahimsa dalam Hinduisme tidak seketat
agama Buddha dan
Jainisme, karena jejak keberadaan praktik-praktik pengorbanan dapat ditelusuri dalam kitab-kitab
Weda, contohnya mantra-mantra untuk kurban kambing (dalam
Regweda),
[375] kurban kuda (
Aswameda, dalam
Yajurweda), dan kurban manusia (
Purusameda, dalam
Yajurweda),
[376] sedangkan dalam ritus
Jyotistoma ada tiga hewan yang dikurbankan melalui upacara yang masing-masing disebut
Agnisomiya,
Sawaniya, dan
Anubandya.
Yajurweda dianggap sebagai
Weda pengorbanan dan ritual,
[377][378] serta menyebutkan beberapa ritus pengurbanan hewan, contohnya mantra dan prosedur pengurbanan kambing putih kepada
Bayu, seekor anak lembu kepada
Saraswati, seekor sapi bertutul kepada
Sawitr, seekor banteng kepada
Indra, seekor sapi yang dikebiri kepada
Baruna, dan lain-lain.
[380]
Tanggapan yang menentang pelaksanaan kurban datang dari aliran
Carwaka yang menuliskan kritik mereka dalam
Barhaspatyasutra (abad ke-3 SM) sebagai berikut:
"Jika hewan yang dikurbankan dalam ritus Jyotistoma akan segera mencapai surga,
mengapa si pelaksana tidak segera mengurbankan ayahnya saja?"
Pada masa perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di India, para raja Buddhis seperti
Ashoka memengaruhi rakyatnya dengan larangan pelaksanaan kurban.
[376] Pada masa pemerintahan Ashoka, sebuah titah diberlakukan dan dituliskan pada sebuah batu, dengan kata-kata sebagai berikut:
"Ini adalah titah dari orang yang disayangi para dewa,
Raja Piyadasi. Tindak pembunuhan kepada hewan tidak boleh dilakukan untuk seterusnya."
[376]
Dari sini, reaksi sosial berkenaan dengan kitab tata cara pengorbanan (
Brahmana) dapat ditelusuri.
[376] Menurut
Panini, ada dua macam
Brahmana, yaitu
Brahmana Lama dan
Brahmana Baru.
[376] Dalam Brahmana Lama—seperti
Aitareya Brahmana untuk
Regweda—pengorbanan benar-benar dilakukan, namun dalam Brahmana Baru seperti
Shatapatha Brahmana, hewan kurban dilepaskan setelah terikat pada tiang pengorbanan.
[376] Hal ini merupakan reaksi dari kebangkitan agama-agama
Sramana—seperti
agama Buddha dan
Jainisme—yang berakibat pada peletakan konsep
ahimsa di kalangan praktisi kitab
Brahmana.
Vegetarianisme
Masakan vegetarian khas India Utara yang disajikan di suatu restoran di
Tokyo,
Jepang.
Sesuai dengan konsep
ahimsa, maka banyak umat Hindu yang mengikuti
vegetarianisme
(tidak makan daging) demi menghormati bentuk kehidupan yang
tingkatannya tinggi. Sejumlah umat justru pantang makan daging hanya
pada hari-hari tertentu. Budaya makan juga bervariasi sesuai komunitas
dan kawasan. Sebagai contoh, beberapa kasta memiliki sedikit penganut
vegetarianisme, sedangkan masyarakat pesisir cenderung bergantung kepada
masakan laut.
[382][383] Perkiraan jumlah
lakto-vegetarian di
India (mencakup umat seluruh agama di sana) bervariasi antara 20% dan 42%.
[v]
Dalam agama Hindu, kemurnian makanan bersifat sangat penting karena
ada keyakinan bahwa makanan mencerminkan tiga kualitas sifat (
triguna) yang umum, yaitu: kesucian (
satwam), semangat (
rajas), dan kelambanan (
tamas). Maka dari itu, aturan makan yang sehat akan menjadi sesuatu yang turut membersihkan hati seseorang.
[384]
Berdasarkan alasan tersebut, umat Hindu dianjurkan untuk menghindari
atau meminimalkan konsumsi makanan yang tidak meningkatkan kebersihan
hati. Beberapa contoh makanan yang dimaksud adalah
bawang merah dan
bawang putih, yang diyakini mengandung sifat
rajas (keadaan yang dicirikan oleh sifat suka menentang dan egois), serta
daging (daging dari hewan apa pun), yang diyakini mengandung sifat
tamas (keadaan yang dicirikan oleh kemarahan, kerakusan, dan iri hati).
[385]
Vegetarianisme dianjurkan oleh sejumlah aliran Hinduisme—meliputi
Waisnawa dan
Saiwa—yang melarang pengorbanan hewan,
[386] tetapi tidak dianjurkan oleh aliran Hinduisme yang mengizinkan pengorbanan hewan. Pada umumnya, pengorbanan hewan dilakukan oleh umat Hindu dari aliran
Sakta, (beberapa) komunitas Hindu dari golongan
sudra dan kesatria, penganut aliran Hinduisme di India Timur, serta penganut aliran Hinduisme di
Asia Tenggara.
Pada umumnya, umat Hindu yang mengonsumsi daging tidak akan mau memakan
daging sapi. Dalam masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai pengasuh manusia serta merupakan figur keibuan, dan mereka menghormatinya sebagai lambang kasih tak bersyarat. Maka dari itu, praktik penyembelihan sapi dilarang secara resmi di hampir seluruh negara bagian di India.
[394]
Pada masa kini, ada banyak kelompok keagamaan Hindu yang menekankan
praktik vegetarianisme yang ketat. Salah satu contoh yang terkenal
adalah gerakan
ISKCON (
International Society for Krishna Consciousness), yang mewajibkan pengikutnya untuk tidak hanya pantang makan daging (termasuk
ikan dan
unggas), tetapi juga menghindari sayuran/tumbuhan tertentu yang dianggap dapat memberikan pengaruh negatif, seperti
bawang merah,
bawang putih,
[384] dan
jamur.
[395] Contoh yang kedua adalah gerakan
Swaminarayan. Pengikut gerakan ini juga sangat setia untuk tidak mengkonsumsi daging, telur, dan ikan.
Pertapaan
Sejumlah umat Hindu memilih untuk hidup sebagai petapa (
Sanyāsa) dalam upaya mencapai "
moksa"
atau pun bentuk kesempurnaan spiritual lainnya. Para petapa berkomitmen
untuk hidup sederhana, tidak berhubungan seksual, tidak mencari harta
duniawi, serta berkontemplasi tentang Tuhan.
[397] Petapa Hindu disebut
sanyasin,
sadu, atau
swāmi, sedangkan yang wanita disebut
sanyāsini.
Orang yang melepaskan diri dari ikatan duniawi memperoleh respek yang
tinggi dalam masyarakat Hindu karena egoisme dan ikatan duniawi yang
mereka lepaskan menjadi inspirasi bagi umat yang masih berkeluarga untuk
berjuang dalam pengendalian pikiran. Beberapa petapa tinggal di
tempat suci atau
asrama,
sedangkan yang lainnya berkelana dari satu tempat ke tempat lain dengan
keyakinan bahwa hanya Tuhan yang dapat memenuhi keinginan mereka.
[398]
Bagi umat Hindu awam, menyediakan makanan dan kebutuhan untuk para
petapa atau sadu merupakan jasa yang sangat besar. Sebaliknya, para sadu
menerimanya dengan rasa hormat dan simpati—tanpa memedulikan orang
miskin atau kaya, baik atau jahat—tanpa perlu memuji, mencela,
menunjukkan rasa senang, atau pun sedih.
[397]
Tempat suci
Tempat suci atau tempat peribadatan umat Hindu pada umumnya disebut
kuil. Beberapa istilah lokal untuk menyebut tempat suci Hindu meliputi
candi,
pura,
mandir,
devasthana,
ksetram,
dharmakshetram,
koil,
deula,
wat, dan
bale keramat. Pembangunan kuil dan tata cara persembahyangan diatur dalam beberapa kitab berbahasa Sanskerta yang disebut
Agama, yang berhubungan dengan dewa-dewi individual. Ada perbedaan substansial dalam
arsitektur, adat,
ritual, dan tradisi mengenai kuil di berbagai wilayah India.
[399]
Umat Hindu dapat menyelenggarakan
puja
(persembahyangan atau kebaktian) di rumah atau kuil. Untuk peribadatan
di rumah, biasanya umat Hindu membuat kamar suci atau kuil kecil dengan
ikon atau
altar yang didedikasikan bagi dewa atau dewi tertentu (
istadewata), misalnya
Kresna,
Ganesa,
Durga,
dewa-dewi lokal, atau entitas lainnya yang dihormati (misalnya leluhur
atau roh pelindung). Umat Hindu melakukan persembahyangan melalui suatu
murti atau
pratima, dapat berupa
arca,
lingga, atau sesuatu lainnya—sebagai lambang dari dewa yang dipuja—yang disakralkan/disucikan terlebih dahulu melalui suatu upacara.
Biasanya, bangunan kuil didedikasikan sebagai tempat pemujaan kepada
suatu dewa utama beserta dewa-dewi sekunder yang terkait. Adapula
bangunan kuil yang didedikasikan untuk beberapa dewa sekaligus. Bagi
sebagian besar umat Hindu di India, mengunjungi kuil bukanlah suatu
kewajiban,
[400] dan banyak umat yang mengunjungi kuil hanya pada saat ada perayaan/hari raya.
Murti atau pratima dalam kuil berperan sebagai medium antara umat dan Tuhan.
[401]
Pencitraan murti dianggap sebagai perwakilan atau manifestasi dari
Tuhan, sebab umat Hindu meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana. Meskipun
demikian, ada golongan umat Hindu yang tidak melakukan persembahyangan
dengan murti dalam bentuk apa pun; contoh yang terkemuka adalah aliran
Arya Samaj.
Simbolisme
Dalam agama Hindu ada aturan tentang simbolisme dan ikonografi untuk
ditampilkan dalam karya seni, arsitektur, dan pustaka yang disakralkan.
Makna simbol-simbol tersebut dicantumkan dalam kitab suci, mitologi,
serta tradisi masyarakat. Suku kata
om (yang melambangkan
Parabrahman) dan
swastika
(yang melambangkan keberuntungan) telah berkembang (dalam sejarahnya)
sebagai lambang bagi agama Hindu, sedangkan petanda lainnya seperti
tilaka memberi ciri mengenai aliran atau kepercayaan yang dianut. Umat Hindu juga menyangkutpautkan beberapa simbol—meliputi bunga
teratai (
padma),
cakra, dan
veena—dengan dewa-dewi tertentu.
-
-
-
Trisula, lambang Siwa dan pengikutnya.
-
Padma, simbol kemurnian dan ketidakterikatan.
-
-
-
-
-
Seorang gadis Hindu
Rusia dengan
bindi di dahinya.
Lihat pula
Keterangan
- ^ Ada sejumlah pakar yang menilai "ketuaan" agama Hindu di dunia. Agama Hindu sebagai "agama tertua" dinyatakan oleh:
- Fowler: "probably the oldest religion in the world (mungkin merupakan agama tertua di dunia)"
- Gellman & Hartman: "Hinduism, the world's oldest religion (Hinduisme, agama tertua di dunia)"
- Stevens: "Hinduism, the oldest religion in the world (Hinduisme, agama tertua di dunia)"
- Sarma: "The ‘oldest living religion’ (agama tertua yang masih bertahan)"
- Meriam-Webster & Klostermaier: "The
‘oldest living major religion’ in the world (salah satu agama besar
yang paling tua dan masih bertahan di dunia)"
- Laderman: "World's oldest living civilisation and religion (agama dan peradaban tertua di dunia yang masih bertahan)"
- Turner: "It is also recognized as the oldest major religion in the world (Ia [Hindu] juga dipahami sebagai salah satu agama besar dunia yang tertua)"
Di sisi lain, Smart menyebut agama Hindu sebagai salah satu agama termuda: "Hinduism
could be seen to be much more recent, though with various ancient
roots: in a sense it was formed in the late 19th Century and early 20th
Century (Hinduisme terlihat lebih segar seperti sekarang, kendati
berasal dari sumber-sumber kuno: dalam pengertian bahwa ia dikukuhkan
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20)"
Bandingkan pula dengan:
- ^ Hindu juga dikenal dengan Hindū-dharma atau Vaidika-dharma dalam beberapa bahasa India modern, seperti bahasa Hindi, Bahasa Bengali, dan beberapa turunan Bahasa Indo-Arya, juga beberapa dialek Bahasa Dravida seperti Bahasa Tamil dan Bahasa Kannada.
- ^ Kata Sindhu pertama kali disebutkan dalam Regweda.[17][18]
- ^ Teks asli dalam Encyclopaedia Britannica: The
term has also more recently been used by Hindu leaders, reformers, and
nationalists to refer to Hinduism as a unified world religion. Sanatana
dharma has thus become a synonym for the “eternal” truth and teachings
of Hinduism, the latter conceived of as not only transcendent of history
and unchanging but also as indivisible and ultimately nonsectarian.
- ^ Menurut
King (2001), menekankan pengalaman sebagai pembenaran bagi pandangan
global religius merupakan suatu gagasan yang dikembangkan pada masa
modern, yang dimulai sejak abad ke-19, dan diperkenalkan kepada bangsa
India oleh misionaris Unitarianisme dari barat. Istilah pengalaman religius juga ditulis oleh James (seperti dikutip Hori, 1999), dalam bukunya, The Varieties of Religious Experience.
- ^ Teks asli: Starting
from the Vedas, Hinduism has ended in embracing something from all
religions, and in presenting phases suited to all minds. It is all
tolerant, all-compliant, all-comprehensive, all-absorbing.
- ^ Teks asli: Unlike
other religions in the World, the Hindu religion does not claim any one
Prophet, it does not worship any one God, it does not believe in any
one philosophic concept, it does not follow any one act of religious
rites or performances; in fact, it does not satisfy the traditional
features of a religion or creed. It is a way of life and nothing more.
- ^ Teks asli: As
a counteraction to Islamic supremacy and as part of the continuing
process of regionalization, two religious innovations developed in the
Hindu religions: the formation of sects and a historicization which
preceded later nationalism [...] [S]aints and sometimes and sometimes
militant sect leaders, such as the Marathi poet Tukaram (1609-1649) and
Ramdas (1608-1681), articulated ideas in which they glorified Hinduism
and the past. The Brahmans also produced increasingly historicizing
texts, especially eulogies and chronicles of sacred sites (Mahatmyas),
or developed a reflexive passion for collecting and compiling extensive
collections of quotations on various subjects.
- ^ Di samping konsep Brahman, agama Hindu mengenal ratusan dewa dan dewi secara harfiah. Maka dari itu, agama Hindu [dapat disebut] politeistis. Akan tetapi, umat Hindu menganggap bahwa seluruh dewa-dewi tersebut merupakan awatara, atau perwujudan dari Brahman.[185]
- ^ Michaels menyebut Flood 1996 sebagai acuan bagi periodisasi "Agama-agama Praweda".
- ^ Smart membedakan "Brahmanisme" dengan agama Weda, karena "Brahmanisme" dihubungkan dengan Upanishad.
- ^ Bangsa Elamo-Dravida disebut dengan nama ini untuk membedakannya dengan bangsa Dravida masa kini yang menduduki India, yang didominasi oleh keturunan ras Australoid
- ^ Menurut Jones & Ryan: "Beberapa praktik Hinduisme pastilah berasal dari zaman neolitik (kr.
4000 SM). Sebagai contoh, pemujaan tumbuhan dan hewan tertentu karena
dianggap suci, kemungkinan besar sudah ada sejak zaman kuno. Demikian
pula pemujaan dewi-dewi, suatu bagian agama Hindu masa kini, mungkin
merupakan fitur yang sudah ada sejak zaman neolitik."
- ^ Tidak ada tahun pasti yang memungkinkan sebagai awal periode Weda. Witzel menyebutkan jangka waktu antara 1900 dan 1400 SM. Flood menyebutkan 1500 SM.
- ^ Menurut Michaels: "Mereka menyebut diri sebagai arya (secara harfiah berarti "ramah," dari kata arya dalam Weda, artinya "nyaman, murah hati") tetapi dalam Regweda, arya juga berarti batas budaya dan bahasa dan tidak hanya terbatas bagi ras."
- ^ Menurut T. Oberlies, jangka waktu 1700–1100 SM ditentukan berdasarkan bukti-bukti kumulatif.
- ^ Brahman-Arya di sini adalah Brahmanisme dan kebudayaan bangsa Arya.
- ^ Teks asli: Jainism
does not derive from Brahman-Aryan sources, but reflects the cosmology
and anthropology of a much older pre-Aryan upper class of northeastern
India - being rooted in the same subsoil of archaic metaphysical
speculation as Yoga, Sankhya, and Buddhism, the other non-Vedic Indian
systems.
- ^ Teks asli: The
Brahmanists themselves seem to have encouraged this development to some
extent as a means of meeting the challenge of the more heterodox
movements. At the same time, among the indigenous religions, a common
allegiance to the authority of the Veda provided a thin, but nonetheless
significant, thread of unity amid their variety of gods and religiou
practices.
- ^ Teks asli: Some
incarnations of Vishnu such as Matsya, Kurma, Varaha and perhaps even
Nrsimha helped to incorporate certain popular totem symbols and creation
myths, specially those related to wild boar, which commonly permeate
preliterate mythology, others such as Krsna and Balarama became
instrumental in assimilating local cults and myths centering around two
popular pastoral and agricultural gods.
- ^ Menurut
Venkataraman dan Deshpande: "Diskriminasi berdasarkan kasta masih ada
di benyak wilayah India masa kini … Diskriminasi berdasarkan kasta pada
dasarnya bertentangan dengan ajaran esensial kitab suci Hindu bahwa
sifat-sifat ketuhanan terdapat dalam setiap makhluk."[356]
- ^ Survei mengenai kebiasaan makan di India berdasarkan: "pertumbuhan sektor peternakan dan unggas di India", "pola konsumsi masyarakat India", dan "reformasi pertanian di India".
Hasil mengindikasikan bahwa orang India jarang memakan daging, dengan
persentase kurang dari 30% penduduk mengonsumsi makanan non-vegetarian
sesering mungkin, meskipun alasan di balik itu mungkin mengarah ke sikap
ekonomis.
Catatan kaki