Kamis, 18 September 2014

Sejarah Mesin Cetak

Mesin cetak digunakan untuk membuat banyak salinan halaman yang identik. Kini digunakan untuk mencetak buku dan surat kabar. Kini segalanya dilakukan secara otomatis. Saat mesin cetak ditemukan oleh Johannes Gutenberg, ia harus meletakkan huruf bersama-sama. Tiap huruf ada di balok logam dalam sebuah bingkai. Lalu ia bisa memindahkan kertas dan tinta di atasnya, mirip seperti perangko. Huruf itu akan meninggalkan beberapa tinta di kertas itu.

Sejarah

Bentuk pencetakan yang sangat sederhana dapat ditemukan di Cina dan Korea sekitar tahun 175 AD. Tampilan yang terbalik di atas kayu, dan kemudian perunggu telah dibuat pada tahun ini. Alat ini kemudian dibubuhi tinta kemudian ditempatkan di atas secarik kertas dan digosok dengan lembut menggunakan sebuah tongkat bambu.
Terobosan besar datang sekitar tahun 1440 oleh Johannes Gutenberg dari kota Mainz, Jerman. Gutenberg menciptakan sebuah metode pengecoran potongan-potongan huruf di atas campuran logam yang terbuat dari timah. Potongan-potongan ini dapat ditekankan ke atas halaman berteks untuk percetakan. Metode penemuan pencetakan oleh Gutenberg secara keseluruhan bergantung kepada beberapa elemennya diatas penggabungan beberapa teknologi dari Asia Timur seperti kertas, pencetakan dari balok kayu dan mungkin pencetakan yang dapat dipindahkan, ciptaan Bi Shen, ditambah dengan permintaan yang meningkat dari masyarakat Eropa untuk pengurangan harga buku-buku yang terbuat dari kertas. Metode pengetikan ini bertahan selama sekitar 500 tahun.
Pada tahun 1424, perpustakaan Universitas Cambridge hanya memiliki 122 buku masing-masing mempunyai nilai setara dengan sebuah pertanian atau kebun anggur. Permintaan untuk buku-buku ini didorong dengan naiknya tingkat melek huruf di antara orang-orang kelas menengah dan mahasiswa di Eropa Barat. Pada saat itu, Renaissance masih dalam awal perkembangannya dan masyarakat lambat laun menghilangkan kemonopolian pendeta atas tingkat melek huruf.
Pada saat pencetakan dari balok kayu tiba di Eropa kira-kira pada saat yang bersamaan dengan tibanya kertas, metode ini tidak secocok metode yang digunakan di Timur untuk komunikasi sastra. Pencetakan blok lebih serasi untuk penulisan Cina karena posisi hurufnya tidak kritis, tetapi keberadaan lebih dari 5.000 huruf dasar membuat teknologi orang peran dasar membuat teknologi cetakan Cina yang dapat berpindah-pindah menjadi tidak efisien dan secara ekonomi tidak praktis, dalam istilah keuntungan untuk penerbit buku Cina Kuno. Hal ini berbeda dengan abjad bahasa Latin, kebutuhan akan penjajaran barisan yang tepat dan sebuah karakter yang sederhana menempatkan cetakan yang dapat dipindah-pindahkan sebagai kemajuan luar biasa untuk masyarakat Barat.
Penggunaan mesin cetak merupakan sebuah kunci perbedaan teknologi yang memberikan penemu Eropa keuntungan atas rekanan mereka yang berasal dari Cina, yaitu mesin cetak yang berbasis sekrup yang digunakan dalam produksi anggur dan minyak zaitun. Hal ini merupakan kecanggihan mesin kira-kira pada tahun 1000, alat yang digunakan untuk mengaplikasikan tekanan di atas bidang yang datar merupakan alat yang biasa digunakan di Eropa.

Dampak Sejarah

Pencetakan seperti yang berkembang di Asia Timur tidak memakai mesin cetak seperti di kasus Gutenberg. Walaupun penemuan cetakan yang dapat dipindah-pindahkan di Cina dan Korea mendahului mesin cetak Gutenberg, dampak mesin cetak dan cetakan yang dapat dipindah-pindahkan di Asia Timur tidak mempunyai pengaruh besar seperti pada masyarakat Eropa Barat. Hal ini mungkin karena jumlah pekerja yang terlibat dalam memanipulasikan ribuan tablet porselen sangat besar, atau di Korea, tablet logam, yang diperlukan dalam penggunaan penulisan huruf Cina. Namun, ratusan ribu buku, atas subyek yang berkisar antara Confucian Classics hingga ilmu pengetahuan dan ilmu pasti, dicetak menggunakan teknologi yang lebih tua dari percetakan dari balok kayu, membuat kebudayaan percetakan dunia pertama.
Dampak dari mesin cetak Gutenberg di Eropa hampir sama dengan perkembangan tulisan, penemuan abjad atau Internet, hingga ke efeknya di masyarakat. Seperti tulisan tidak menggantikan berbicara, percetakan tidak pernah mencapai posisi kekuasaan yang total. Naskah yang ditulis tangan terus dihasilkan, dan berbagai macam model grafik komunikasi terus menerus memengaruhi satu sama lain.
Mesin cetak juga merupakan faktor pendiri dari himpunan ilmuwan yang dengan mudah menceritakan penemuan mereka lewat pendirian jurnal ilmiah yang disebarkan secara luas. Hal ini membantu mereka membawa masuk revolusi ilmiah. Kepengarangan menjadi lebih berarti dan menguntungkan karena adanya mesin cetak. Tiba-tiba hal ini menjadi penting siapa yang mengatakan atau menulis apa, dan apa yang merupakan perumusan dan masa susunan yang tepat. Hal Ini memperbolehkan pengarang untuk menyebutkan persis referensi, yang menghasilkan peraturan, "Satu orang Pengarang, satu kerja (hak), satu potong informasi" (Giesecke, 1989; 325). Sebelumnya, pengarang bukan sesuatu yang penting, sejak salinan Aristotle yang dibuat di Paris tidak akan identik dengan yang asli di Bologna. Untuk banyak karya sebelum mesin cetak, nama pengarang secara menyeluruh hilang.
Karena proses mencetak menjamin bahwa informasi yang sama jatuh pada halaman yang sama, halaman yang diberi nomor, daftar isi, dan indeks menjadi biasa, meskipun mereka dulunya belum dikenal. Proses membaca juga diubah, lambat laun berubah dalam beberapa abad dari pengukuran lisan sampai membaca pribadi. Ketersediaan bahan cetak yang luas juga menyebabkan kenaikan drastis di tingkat melek huruf dewasa di seluruh Eropa.
Dalam lima puluh atau enam puluh tahun penemuan mesin cetak, seluruh peraturan klasik sudah dicetak ulang dan disebarluaskan di seluruh Eropa (Eisenstein, 1969; 52). Sejak lebih banyak orang mempunyai akses terhadap pengetahuan baik baru maupun lama, lebih banyak orang dapat membicarakan karya ini. Selanjutnya, sejak produksi buku adalah perusahaan yang lebih komersial, undang-undang hak cipta pertama disahkan untuk melindungi apa yang sekarang disebut hak-hak kepemilikan intelektual. Sedetik perkembangan popularisasi pengetahuan ini adalah kemunduran bahasa Latin sebagai bahasa kebanyakan karya yang diterbitkan, untuk digantikan oleh bahasa sehari-hari di masing-masing bidang, menambah jenis karya yang diterbitkan. Secara paradoksal, kata yang di cetak juga membantu untuk mempersatukan dan menstandarisasi ejaan dan sintaksis logat asli, dan mempunyai efek yang mengurangi keanekaragaman mereka. Kenaikan dalam kepentingan bahasa nasional yang bertentangan dengan masyarakat Eropa Latin disebutkan sebagai salah satu sebab kenaikan nasionalisme di Eropa. msak

Mesin Cetak Gutenberg

Karya Johannes Gutenberg dalam mesin cetak di mulai sekitar 1436 ketika dia sedang bekerja sama dengan Andreas Dritzehan, seseorang yang pernah dibimbing oleh Gutenberg dalam pemotongan batu permata, dan Andreas Heilmann, pemilik pabrik kertas. Tetapi rekor resmi itu baru muncul pada tahun 1439 ketika ada gugatan hukum melawan Gutenberg; saksi-saksi yang ada membicarakan mengenai cetakan Gutenberg, inventaris logam (termasuk timah), dan cetakan ketikannya.
Masyarakat di Eropa pada saat itu juga sedang mengembangkan cetakan yang dapat dipindah-pindahkan, termasuk pandai emas Procopius Waldfoghel dari Perancis dan Laurens Janszoon Coster dari Belanda. Tetapi, mereka tidak dikenal karena telah menyumbang kemajuan spesifik kepada mesin cetak.
Gutenberg adalah orang pertama yang membuat cetakan dari campuran timbal, timah, dan antimon yang kritis untuk menghasilkan cetakan tahan lama yang menghasilkan buku cetak bermutu tinggi dan terbukti menjadi lebih cocok untuk percetakan daripada cetakan tanah liat, kayu atau perunggu yang diciptakan di Asia Timur. Hal ini merupakan sebuah pengetahuan yang didapatnya pada saat Gutenberg bekerja untuk seorang pandai emas professional. Untuk membuat cetakan timbal ini, Gutenberg menggunakan sesuatu yang membuat penemuannya dipertimbangkan sebagai penemuan yang paling cerdik, matriks istimewa memungkinkan pembentukan cetakan baru yang cepat dan tepat dari kerangka yang seragam.
Gutenberg juga diakui karena memperkenalkan tinta berbasis minyak yang lebih tahan lama dibandingkan tinta berbasis air yang dulu dipergunakan. Sebagai bahan percetakan dia menggunakan naskah yang terbuat dari kulit binatang dan kertas, yang terakhir diperkenalkan di Eropa dari Cina dengan menggunakan cara orang Arab beberapa abad yang lalu.
Di dalam kitabnya, Gutenberg membuat percobaan terhadap percetakan berwarna untuk beberapa bagian awal halaman, tersedia hanya dalam beberapa salinan. Karya baru-barunya, The Mainz Psalter yang dikeluarkan pada tahun 1453, sepertinya di disain oleh Gutenberg tetapi diterbitkan di bawah terbitan penggantinya, Johann Fust dan Peter Schöffer, menggunakan huruf cetak awal berwarna merah dan biru yang rumit.
Majalah Life menganggap Mesin Cetak adalah penemuan yang paling luar biasa pada 1000 tahun terakhir. Penting untuk disadari bahwa abjad mungkin merupakan kunci keberhasilan mesin cetak.

Sejarah Agama Hindu

Sejarah

Periodisasi

James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania.[229][230] Periodisasi ini menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya.[231] Periodisasi lainnya memilah-milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[232] Smart[233] dan Michaels[234] tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,[j] sedangkan Flood[235] dan Muesse[237][238] mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[239]
Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:
  • Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik". Itu merupakan periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[k] Jainisme, dan Buddhisme. Menurut Smart, "periode klasik" berlangsung dari 100 M hingga 1000 M, dan bertepatan dengan suburnya "Hinduisme Klasik", serta pertumbuhan dan kemunduran Buddha Mahayana di India.[241]
  • Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa "Reformisme Asketis",[242] sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M adalah masa "Hinduisme Klasik", karena adanya titik balik antara agama Weda dan agama Hindu.[243]
  • Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu antara 800 SM dan 200 SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik". Menurut Muesse, beberapa konsep dasar agama Hindu, yaitu karma, reinkarnasi, serta pencerahan dan transformasi seseorang—yang tidak ditemui dalam agama Weda—berkembang pada periode tersebut.[244]
Smart[233] Michaels[14] Muesse[238] Flood[245]
Umum Detail
Peradaban Lembah Sungai Indus
dan
Periode Weda
(kr. 3000 – 1000 SM)
Agama-Agama Pra-Weda
(prasejarah – kr. 1750 SM)
Peradaban Lembah Sungai Indus
(3300 – 1400 SM)
Peradaban Lembah Sungai Indus
(kr. 2500 – 1500 SM)
Agama Weda Kuno
(kr. 1750 – 500 SM)
Periode Weda Awal
(kr. 1750 – 1200 SM)
Periode Weda
(1600 – 800 SM)
Periode Weda
(kr. 1500 – 500 SM)
Periode Weda Pertengahan
(dari 1200 SM)
Periode Praklasik
(kr. 1000 SM – 100 M)
Periode Weda Akhir
(dari 850 SM)
Periode Klasik
(800 – 200 SM)
Reformisme Asketis
(kr. 500 – 200 SM)
Periode Epos dan Purana
(kr. 500 SM – 500 M)
Hinduisme Klasik
(kr. 200 SM – 1100 M)
Hinduisme Praklasik
(kr. 200 SM – 300 M)
Periode Epos dan Purana
(200 SM – 500 M)
Periode Klasik
(kr. 100 M – 1000 M)
"Zaman Kejayaan"
(Kemaharajaan Gupta)
(kr. 320 – 650 M)
Hinduisme-Klasik Akhir
(kr. 650 – 1100 M)
Periode-Purana Pertengahan dan Akhir
(500 – 1500 M)
Periode-Purana Pertengahan dan Akhir
(500 – 1500 M)
Peradaban Hindu-Islam
(kr. 1000 – 1750 M)
Penaklukan Muslim dan
Kemunculan Sekte-Sekte Hinduisme
(kr. 1100 – 1850 M)
Abad Modern
(1500 – kini)
Abad Modern
(kr. 1500 – kini)
Periode Modern
(kr. 1750 – kini)
Hinduisme Modern
(sejak kr. 1850)

Agama-Agama Pra-Weda

Artefak yang disebut cap Shiva-pashupati (Siwa sang penguasa satwa), berasal dari masa Peradaban Lembah Sungai Indus.
Ras manusia pertama yang menduduki India (kr. 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat periode Paleolitik) adalah Australoid yang mungkin memiliki hubungan dengan penduduk asli Australia.[246] Ada dugaan bahwa ras tersebut hampir punah atau terdesak oleh gelombang migrasi pada masa berikutnya.[247]
Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras Kaukasoid (meliputi bangsa Elamo-Dravida [kr. 4000[248] hingga 6000 SM][249] dan Indo-Arya [kr. 2000[250] hingga 1500 SM][251]) dan Mongoloid (Sino-Tibet) bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida[l] ada kemungkinan berasal dari Elam, kini merupakan wilayah Iran.[248][249][252][253]
Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama Hindu[m]—berasal dari zaman mesolitik[255] dan neolitik.[254] Beberapa agama suku di India masih bertahan, mendahului dominansi agama Hindu, namun tidak harus dianggap bahwa ada banyak kemiripan antara masyarakat suku pada zaman prasejarah dengan masa kini.[256]
Menurut antropolog Gregory Possehl, peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM) mengandung titik pangkal yang logis, atau mungkin arbitrer, bagi beberapa aspek pada tradisi Hindu di kemudian hari.[257] Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan kepada Dewa Yang Mahakuasa, yang dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama John Marshall) sebagai proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu Dewi, yang mendasari figur Sakti. Praktik-praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang berlanjut ke periode Weda meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan tetapi, hubungan antara dewa-dewi dan praktik agama lembah sungai Indus dengan agama Hindu masa kini telah menjadi subjek perselisihan politis serta perdebatan para ahli.[258]

Periode Weda

Peta dataran subur India Utara.
Periode Weda—yang berlangsung dari kr. 1750 sampai 500 SM[234][n]—disebut demikian karena berdasarkan agama berbasis Weda yang dianut oleh bangsa Indo-Arya,[260][o] yang bermigrasi ke India barat daya setelah mundurnya peradaban lembah sungai Indus[261][262][263] (ada kemungkinan dari stepa Asia Tengah).[252][264] Bangsa ini membawa serta bahasa[265] dan agama mereka.[251][266] Agama mereka berkembang lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran India Utara setelah kr. 1100 SM dan menjadi pastoralis.[267][268][269]
Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal dari bahan-bahan agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis),[270] sastra yang mendasari tradisi pada masa itu adalah Weda Samhita, sehingga periode tersebut dinamai demikian. Kitab tertua di antara sastra Weda tersebut adalah Regweda, yang diperkirakan telah disusun pada periode 1700–1100 SM.[p] Sastra Weda memusatkan pemujaan kepada para dewa seperti Indra, Baruna, dan Agni, serta melangsungkan upacara Soma. Kurban dengan api, yang disebut yadnya (yajña) dilaksanakan dengan merapalkan mantra-mantra Weda.[272][273] Sastra Weda dikodifikasi ketika bangsa Indo-Arya mulai menduduki dataran India Utara yang subur, kemudian melakukan transisi dari masyarakat penggembala menuju masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul. Masyarakat baru tersebut melibatkan penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur tersebut. Mereka dimasukkan ke dalam sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas politik dan keagamaan berada di tangan kaum brahmana dan kesatria.[274]
Selama Periode Weda Awal (kr. 1500–1100 SM), suku-suku penganut Weda merupakan suku penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut.[275] Setelah 1100 SM, seiring ditemukannya besi, suku-suku penganut Weda berpindah ke dataran India Utara sebelah barat, dan mengadaptasi gaya hidup agraris.[276][277] Bentuk-bentuk wilayah berdaulat yang belum sempurna mulai muncul, dan yang paling menonjol atau berpengaruh adalah kerajaan suku Kuru.[267][278] Kerajaan tersebut merupakan ikatan kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi masyarakat setingkat negara—yang pertama kali tercatat dalam sejarah Asia Selatan—sekitar 1000 M.[267] Secara terang-terangan, mereka mengubah warisan budaya dari Periode Weda sebelumnya, mengumpulkan himne-himne Weda menjadi suatu himpunan, dan mengembangkan upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban India sebagai upacara-upacara srauta,[267] yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis Hindu".[274][48]
Pada abad ke-9 dan ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-kitab Upanishad tertua.[279] Upanishad membentuk suatu dasar teoritis bagi Hinduisme Klasik dan dikenal sebagai Wedanta (kesimpulan dari Weda).[280] Kitab-kitab Upanishad kuno menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah.[281] Spekulasi monistis yang beragam dari ajaran Upanishad disintesiskan menjadi suatu kerangka teistis dalam kitab suci Hindu Bhagawadgita.[282]
Etika dalam kitab-kitab Weda berdasarkan konsep satya dan reta. Satya adalah prinsip integrasi yang berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang meregulasi dan mengkoordinasi jalannya alam semesta beserta segala sesuatu di dalamnya.[283] Kesesuaian dengan reta akan memungkinkan sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan.[284] Istilah dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang dipandang sebagai aspek dari reta.[285] Istilah reta juga dikenal dalam agama Proto-Indo-Iran, yaitu agama orang-orang Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab Weda (Indo-Aryan) dan Zoroastrianisme (Iran). Asha (aša) adalah istilah dalam bahasa Avesta yang mirip dengan ṛta dalam Weda.[286]
Kitab-kitab Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata mengungkapkan gagasan atau praktik yang populer.[287] Agama berbasis Weda pada periode selanjutnya hadir berdampingan dengan agama-agama lokal—seperti pemujaan Yaksa[274][288][289]—dan ia sendiri merupakan hasil dari campuran antara kebudayaan Indo-Arya dengan Harrapa.[52]

Reformisme Asketis

Dua tokoh terkemuka dari golongan Sramana, tradisi yang tidak mengakui kewenangan sastra Weda. Di kemudian hari, Mahavira menjadi figur utama dalam Jainisme, sedangkan Siddhartha Gautama dalam Buddhisme.
Peningkatan urbanisasi di India pada abad ke-7 dan ke-6 SM telah mendukung terjadinya gerakan asketis atau Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai upacara.[290] Mahavira (kr. 549–477 SM, pemuka Jainisme) dan Buddha Gautama (kr. 563–483 SM, penggagas tradisi Buddhisme) adalah tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut.[291] Menurut Heinrich Zimmer, Jainisme dan Buddhisme adalah bagian dari warisan kebudayaan pra-Weda, yang juga meliputi Samkhya dan Yoga:
Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya] Brahman-Arya,[q] tetapi mencerminkan kosmologi dan antropologi masyarakat kuno pra-Arya golongan atas [yang tinggal] di India bagian timur laut – dengan berpangkal pada dasar-dasar yang sama tentang spekulasi metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya, dan Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India lainnya yang tidak berbasis Weda.[r][292][293]
Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan kematian (siklus reinkarnasi), konsep samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari reinkarnasi tersebut), yang menjadi karakteristik Hinduisme.[294]
James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist Pilgrimage menulis bahwa Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915), dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan pengaruh apa pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu, Sang Buddha menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.[295]

Hinduisme Klasik

Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan dengan zaman kejayaan Hindu pada masa Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode Hinduisme Klasik Akhir. Periode Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan agama Islam ke Asia Selatan, lalu diikuti dengan pendirian aliran atau sekte dalam agama Hindu.

Hinduisme Praklasik

Pada periode dari 500[48] hingga 200 SM,[296] dan kr. 300 M, terjadi "sintesis Hindu",[48] yang menyerap pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha,[296][297] serta kemunculan tradisi bhakti dalam balutan Brahmanisme melalui pustaka Smerti.[298] Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan agama Buddha dan Jainisme.[58]
Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan agama berbasis Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di bawah naungan agama Weda.[299] Ketika Brahmanisme mulai kehilangan pamornya[243] dan harus bersaing dengan Buddhisme dan Jainisme,[298] agama-agama yang populer mendapat kesempatan untuk menonjolkan ajarannya.[299] Menurut Embree:
Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas perkembangan [agamanya] sebagai maksud untuk menghadapi gempuran aliran-aliran yang lebih heterodoks. Pada saat yang sama, di kalangan agama-agama pribumi yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan sastra Weda telah memberikan suatu tali persatuan yang tipis—namun begitu signifikan—di antara kemajemukan dewa-dewi dan praktik keagamaan [yang ada].[s][299]
Menurut Larson, para brahmana menanggapinya dengan asimilasi dan konsolidasi. Hal tersebut tercerminkan dalam pustaka Smerti yang mulai disusun pada periode itu.[300] Kitab-kitab Smerti dari periode 200 SM–100 M mempermaklumkan kewenangan Weda, sehingga pengakuan terhadap kewenangan Weda menjadi kriteria utama untuk membedakan Hinduisme dengan aliran heterodoks yang menolak Weda.[301] Sebagian besar gagasan dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal dari pustaka Smerti, yang kemudian menjadi inspirasi dasar bagi kebanyakan umat Hindu.[300]
Dua wiracarita India terkemuka—Ramayana dan Mahabharata—yang tergolong ke dalam Smerti, disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan awal zaman Masehi.[302] Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para pemimpin dan peperangan pada zaman India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan ajaran agama. Sastra Purana yang disusun pada masa berikutnya mengandung cerita tentang para dewa-dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan pertempuran mereka melawan para rakshasa. Kitab Bhagawadgita memperkuat keberhasilan[303] konsolidasi agama Hindu,[303] dengan memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan Sramana menjadi suatu kebaktian yang teistis.[303][304][305]
Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab filsafat Hindu dikodifikasikan secara formal, meliputi Samkhya, Yoga, Nyaya, Waisesika, Purwamimamsa, dan Wedanta.[306]

"Zaman Kejayaan"

Candi Dashavatara di Deogarh, negara bagian Uttar Pradesh, India. Candi ini dibangun pada abad ke-6, era Dinasti Gupta.
Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring dengan berkembangnya perdagangan ke negeri yang jauh, standardisasi prosedur legal, dan pemberantasan buta huruf.[307] Buddhisme aliran Mahayana menyebar, sedangkan kebudayaan Brahmana ortodoks mulai disegarkan kembali di bawah perlindungan Dinasti Gupta,[308] yang dipimpin para raja penganut Waisnawa.[309] Kedudukan para brahmana diperkuat kembali dan kuil-kuil Hindu mulai didirikan sebagai dedikasi untuk dewa-dewi Hindu.[307] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, sastra Purana mulai ditulis, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di kalangan masyarakat pribumi dan buta huruf yang menjalani akulturasi.[310] Para raja Gupta melindungi tradisi Purana yang mulai berkembang demi perbawa wangsa mereka.[309] Hal ini menyebabkan timbulnya Hinduisme-Puranis (Puranic Hinduism), yang berbeda dengan Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada Dharmasastra dan Smerti.[310]
Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan tradisi bhakti yang tumbuh sangat cepat, bermula di Tamil Nadu (India Selatan). Para Nayanar dari aliran Saiwa (abad ke-4 – ke-10)[311] serta para Alwar dari aliran Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi bhakti ke berbagai penjuru India dari abad ke-12 hingga ke-18.[312][311]
Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi intelektual—kurun waktu paling gemilang dalam perkembangan filsafat India, ketika filsafat Hindu dan Buddha tumbuh subur secara berdampingan.[313] Carwaka, mazhab materialisme ateistis, tampil di India Utara sebelum abad ke-8.[314]

Hinduisme Klasik Akhir

Setelah runtuhnya kemaharajaan Gupta dan Harsha, kekuasaan di India mengalami desentralisasi. Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan negeri taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin dengan sistem feodal. Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih besar. Maharaja sulit dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan,[315] sebagaimana yang digambarkan dalam mandala Tantra, dan kadangkala raja digambarkan sebagai pusat mandala.[316]
Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta persaingan religius.[317] Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh Hinduisme-Brahmanis ritualistis (ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang.[317] Gerakan rakyat dan kebaktian mulai bermunculan, seiring dengan [tumbuhnya] aliran Saiwa, Waisnawa, Bhakti, dan Tantra, meskipun pengelompokan menurut sekte hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-aliran tersebut.[317] Gerakan keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari penguasa lokal. Agama Buddha kehilangan pamornya setelah abad ke-8, lalu mulai memudar di India.[317] Hal tersebut tersirat dari penghentian ritus puja Buddhis di lingkungan istana-istana India pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu menggantikan peran Buddha sebagai pelindung kerajaan.[318]
Sastra Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di kalangan masyarakat pribumi yang mengalami akulturasi. Seiring dengan dadal yang dialami Dinasti Gupta, tanah-tanah perawan dikumpulkan oleh para brahmana, yang tidak hanya menjamin keuntungan agraris dari eksploitasi tanah yang dimiliki para raja, tetapi juga memberikan status bagi kelas penguasa yang baru.[319] Para brahmana menyebar ke berbagai penjuru India, berinteraksi dengan warga lokal yang menganut kepercayaan dan ideologi berbeda. Para brahmana menggunakan Purana untuk mengajak berbagai klan menjadi masyarakat agraris, serta mengikuti agama dan ideologi para brahmana.[64] Menurut Flood, para brahmana yang mengikuti agama berbasis Purana kemudian dikenal sebagai Smarta, artinya orang yang bersembahyang berdasarkan Smerti, atau Pauranika, yaitu penganut Purana.[320] Kepala suku dan warga lokal diserap ke dalam sistem warna, demi mengendalikan tindak tanduk kaum "kesatria dan sudra baru" tersebut.[321] Kelompok-kelompok brahmana semakin besar dengan mengikutsertakan orang lokal, seperti pendeta dan rohaniwan lokal. Hal ini mengarah ke stratifikasi bagi kaum brahmana, sehingga ada golongan brahmana yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan brahmana lainnya.[64] Penarapan sistem kasta lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-aliran Sramana (Buddha atau Jaina). Pustaka Purana mencantumkan suatu riwayat silsilah yang luas sehingga dapat memberikan status kesatria baru bagi suatu golongan. Sementara itu, ajaran Buddha menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara orang yang terpilih dengan rakyat, dan chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda dengan model penaklukkan yang dilakukan para kesatria dan kaum Rajput Hindu.[321]
Lukisan Kresna sebagai Gowinda atau "pelindung para sapi", dari abad ke-19.
Brahmanisme berdasarkan pustaka Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi radikal di tangan para penyusun Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis (Puranic Hinduism),[310] bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan", yang kemudian melintangi segala agama-agama yang ada.[322] Hinduisme Puranis merupakan sistem kepercayaan yang terdiri dari banyak bagian yang tumbuh dan meluas dengan menyerap dan memadukan gagasan-gagasan bertentangan dan berbagai tradisi pemujaan.[322] Agama ini berbeda dengan Smarta yang menjadi pangkalnya. Perbedaan itu terletak pada ketenaran, pluralisme teologis, pluralisme sekte, pengaruh Tantra, dan pengutamaan bhakti.[322]
Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme Puranis. Wisnu dan Siwa tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan dengan Sakti/Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya menimbulkan kultus Narayana, Jagatnata, Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:
Beberapa inkarnasi Wisnu seperti Matsya, Kurma, Waraha, dan bahkan Narasinga membantu pemaduan simbol-simbol totem populer dan mitos penciptaan, khususnya yang berkaitan dengan babi hutan, yang umumnya meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan [inkarnasi] lainnya seperti Kresna dan Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan mitos lokal yang berpusat pada dewa-dewa pedesaan dan pertanian.[t][323]
Rama dan Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi bhakti, yang terutama diungkapkan dalam Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa kultus berbasis naga, yaksa, bukit, dan pepohonan.[324] Siwa menyerap kultus-kultus lokal dengan menambahkan kata Isa atau Iswara pada nama dewa-dewa lokal, contohnya Buteswara, Hatakeswara, Candeswara.[325] Dalam lingkungan keluarga raja pada abad ke-8, puja terhadap Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi Hindu. Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah satu awatara Wisnu.[326]
Mazhab Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh agama Buddha[327]—dirumuskan kembali oleh Adi Shankara dengan membuat sistematisasi karya-karya para filsuf pendahulunya.[328] Pada masa kini, karena pengaruh Orientalisme Barat dan Perenialisme terhadap Neo-Wedanta India dan nasionalisme Hindu,[329] Adwaita Wedanta mendapatkan sambutan yang luas dalam kebudayaan India dan di luar India sebagai contoh paradigmatis dari spiritualitas Hindu.[329]

Kehadiran Islam dan sekte Hindu

Reruntuhan Candi Somnath pada tahun 1869. Candi ini pernah didirikan dan dihancurkan berkali-kali selama periode penaklukan muslim di India, sampai akhirnya dipugar pada tahun 1951.
Meskipun Islam sudah datang ke India sejak awal abad ke-7 (seiring dengan kedatangan para pedagang Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi agama utama selama periode penaklukan Islam di Asia Selatan pada masa selanjutnya.[330] Pada periode tersebut, agama Buddha memudar secara drastis, dan banyak umat Hindu pindah agama ke Islam.[331][332] Banyak penguasa muslim beserta panglimanya, seperti Aurangzeb dan Malik Kafur yang menghancurkan tempat ibadah umat Hindu dan menindas kaum non-muslim;[333][334] akan tetapi, beberapa penguasa muslim seperti Akbar bersikap lebih toleran.
Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh Guru Ramanuja yang terkemuka, serta Guru Madhwa, dan Sri Caitanya.[330] Pengikut gerakan Bhakti beralih dari konsep Brahman yang abstrak—yang dianjurkan oleh filsuf Adi Shankara berabad-abad sebelumnya—dengan tradisi kebaktian yang lebih bersemangat terhadap pemujaan para awatara yang lebih mudah dibayangkan, terutama Kresna dan Rama.[335] Menurut Nicholson, antara abad ke-17 dan ke-16, beberapa cendekiawan tertentu mulai menarik benang merah pada kanekaragaman ajaran filosofis dalam Upanishad, wiracarita, Purana, dan mazhab filsafat yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum.[336] Lorenzen menentukan bahwa asal mula identitas ke-Hindu-an yang khas berawal dari interaksi antara muslim dan umat Hindu,[86] dan dari suatu proses pencarian jati diri yang membedakan diri dengan muslim,[337] yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[87] Baik cendekiawan India atau pun Eropa—yang mempopulerkan istilah "Hinduisme" pada abad ke-19—telah mendapat pengaruh dari filsafat tersebut.[26] Michaels menggarisbawahi bahwa historisasi muncul sebelum nasionalisme di kemudian hari, yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.[88]

Hinduisme masa kini

Di tengah kekuasaan British Raj (penjajahan Inggris atas India), Renaisans Hindu mulai bangkit pada abad ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan agama Hindu, baik di India atau pun di Barat.[13] Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian kebudayaan India dari sudut pandang Eropa) didirikan pada abad ke-19, dipimpin oleh para ahli seperti Max Müller dan John Woodroffe. Mereka memboyong filsafat dan pustaka Weda, Purana, dan Tantra ke Eropa. Para orientalis mencari-cari "hakikat" agama-agama di India, dan menemukannya pada pustaka Weda,[338] sambil membuat gagasan bahwa "Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari berbagai adat keagamaan dan gambaran populer mengenai ‘India yang mistis’.[339][13] Gagasan tersebut diambil alih oleh beberapa gerakan reformasi Hindu seperti Brahmo Samaj, yang didukung untuk sesaat oleh Gereja Unitarian,[340] bersama dengan gagasan Universalisme dan Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama memiliki dasar mistisisme yang sama.[341] "Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka seperti Vivekananda, Aurobindo, serta Radhakrishnan menjadi panutan dalam pemahaman populer mengenai agama Hindu.[342][343][344][345]
Tokoh Hindu yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah Ramana Maharshi, B.K.S. Iyengar, Paramahansa Yogananda, Swami Prabhupada (pendiri ISKCON), Sri Chinmoy, dan Swami Rama, yang menerjemahkan, merumuskan ulang, dan memperkenalkan pustaka dasar agama Hindu bagi khalayak awam masa kini dengan imla yang baru, mengangkat pandangan tentang Yoga dan Wedanta di Dunia Barat, serta menarik pengikut baru dan perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.
Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai kekuatan politis dan acuan bagi jati diri bangsa India. Sejak pendirian Hindu Mahasabha pada 1910-an, banyak gerakan bertumbuh dengan perumusan dan perkembangan ideologi Hindutva pada dekade-dekade berikutnya; pendirian Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan percabangan RSS—yang kemudian berhasil—yaitu Jana Sangha dan Bharatiya Janata Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa pascakemerdekaan India.[346] Religiositas Hindu juga memainkan peran penting dalam gerakan nasionalis.[347]

Pranata

Caturwarna

Sekelompok pendeta Hindu suku Tengger, Jawa Timur. Foto dari tahun 1910-an.
Masyarakat Hindu dikategorikan menjadi empat kelas, disebut warna, yaitu sebagai berikut:
  • Brahmana: pendeta dan guru kerohanian
  • Kesatria: bangsawan, pejabat, dan tentara
  • Waisya: petani, pedagang, dan wiraswasta
  • Sudra: pelayan dan buruh
Kitab Bhagawadgita menghubungkan warna dengan kewajiban seseorang (swadharma), pembawaan (swabhāwa), dan kecenderungan alamiah (guṇa).[84] Berdasarkan pengertian warna menurut Bhagawadgita, tokoh spiritual Hindu Sri Aurobindo membuat doktrin bahwa pekerjaan seseorang semestinya ditentukan oleh bakat dan kapasitas alaminya.[348][349] Dalam kitab Manusmerti terdapat pengelompokan kasta-kasta yang berbeda.[350]
Mobilitas dan fleksibitas dalam warna menampik dugaan diskriminasi sosial dalam sistem kasta, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa sosiolog,[351][352] meskipun beberapa ahli tidak sependapat.[353] Para ahli memperdebatkan apakah sistem kasta merupakan bagian dari Hinduisme yang diatur oleh kitab suci, ataukah sekadar adat masyarakat.[354][355][u] Berbagai ahli berpendapat bahwa sistem kasta dibangun oleh rezim kolonial Britania.[357] Menurut guru rohani Hindu Sri Ramakrishna (1836–1886):
Para pencinta Tuhan tidak tergolong dalam kasta tertentu … Seorang brahmana tanpa cinta pada Tuhan bukanlah brahmana lagi. Dan seorang paria tanpa cinta pada Tuhan bukanlah paria lagi. Melalui bhakti (pengabdian kepada Tuhan), seorang hina dina dapat menjadi suci dan derajatnya pun meningkat.[358]
Menurut sastra Wedanta, orang yang berada di luar warna disebut "warnatita". Para ahli seperti Adi Sankara menegaskan bahwa tidak hanya Brahman yang melampaui seluruh warna, namun seseorang yang dapat bersatu dengan-Nya juga dapat melampaui seluruh perbedaan dan pembatasan kasta-kasta.

Jenjang kehidupan

Upacara pernikahan umat Hindu menurut adat di Orissa, India.
Secara tradisional, kehidupan umat Hindu terbagi menjadi empat āśrama atau caturasrama (empat fase atau empat tahapan). Bagian pertama dalam kehidupan seseorang adalah Brahmacari, yaitu masa menuntut ilmu. Tahap ini dilaksanakan sebelum masa kawin, untuk dapat berkontemplasi secara murni dan bijaksana di bawah bimbingan Guru, demi membangun pikiran dan fondasi spiritual. Tahap berikutnya adalah Grehasta, yaitu tahap membangun kehidupan rumah tangga, dilaksanakan dengan cara menikah dan memenuhi kāma (kenikmatan indria) dan arta (kemakmuran). Setelah berumah tangga, kewajiban moral yang dilaksanakan meliputi: mengasuh anak, merawat orang tua, menghormati tamu dan orang suci.
Setelah berumah tangga dalam jangka waktu tertentu, umat Hindu kemudian menempuh tahap Wanaprasta, yaitu masa pensiun atau masa melepaskan diri dari kesibukan duniawi. Tahap ini dapat dilaksanakan dengan cara menyerahkan tanggung jawab kepada keturunan, agar pensiunan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk melakukan aktivitas keagamaan dan mengunjungi tempat-tempat suci. Tahap yang terakhir adalah Sannyasa, yaitu masa menghabiskan sisa hidup dengan melakukan tapa brata, atau berusaha melepaskan diri dari ikatan duniawi. Pelepasan tersebut dilakukan dalam rangka menemukan Tuhan, serta untuk mencari cara meninggalkan tubuh fana secara damai, agar mencapai suatu kondisi yang disebut moksa.[359]

Praktik keagamaan

Praktik keagamaan Hindu biasanya bertujuan untuk mencari kesadaran akan Tuhan, dan kadangkala mencari anugerah dari para dewa. Maka dari itu, ada beragam praktik keagamaan dalam tubuh Hinduisme yang dimaksudkan untuk membantu seseorang dalam upaya memahami Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Persembahyangan

Seorang praktisi Bhaktiyoga sedang bermeditasi.
Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, umat Hindu biasanya mengucapkan mantra. Mantra adalah seruan, panggilan, atau doa yang membantu umat Hindu agar dapat memusatkan pikiran kepada Tuhan atau dewa tertentu, melalui kata-kata, suara, dan cara pelantunan. Pada pagi hari, di tepi sungai yang dikeramatkan, banyak umat Hindu yang melaksanakan upacara pembersihan sambil melantunkan Gayatri Mantra atau mantra-mantra Mahamrityunjaya.[360] Wiracarita Mahabharata mengagungkan japa (lagu-lagu pujaan) sebagai kewajiban terbesar pada masa Kaliyuga (zaman sekarang, 3102 SM–kini).[361] Banyak aliran yang mengadopsi japa sebagai praktik spiritual yang utama.[361]
Praktik spiritual Hindu yang cukup populer adalah Yoga. Yoga merupakan ajaran Hindu yang gunanya melatih kesadaran demi kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual. Hal ini dilakukan melalui seperangkat latihan dan pembentukan posisi tubuh untuk mengendalikan raga dan pikiran.[362]
Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-lagu pujian. Praktik ini memiliki bentuk beragam: dapat berupa mantra semata atau kirtan, atau berupa dhrupad atau kriti dengan musik berdasarkan raga dan tala menurut musik klasik India.[363] Biasanya, bhajan mengandung syair untuk mengungkapkan cinta kepada Tuhan. Istilah tersebut sepadan dengan bhakti yang artinya "pengabdian religius", menyiratkan pentingnya bhajan bagi gerakan bhakti yang menyebar dari India bagian selatan ke seluruh subkontinen India pada masa Moghul.
Penggalan cerita dari kitab suci, ajaran para orang suci, serta deskripsi para dewa telah menjadi subjek bagi pelaksanaan bhajan. Tradisi dhrupad, qawwali Sufi,[364] dan kirtan atau lagu dalam tradisi Haridasi berkaitan dengan bhajan. Nanak, Kabir, Meera, Narottama Dasa, Surdas, dan Tulsidas adalah para pujangga bhajan terkemuka. Tradisi dalam bhajan seperti Nirguni, Gorakhanathi, Vallabhapanthi, Ashtachhap, Madhura-bhakti, dan Sampradya Bhajan dari India Selatan memiliki repertoar dan cara pelantunan masing-masing.

Upacara

Upacara choroonu (nama lain dari annaprashan) di Kerala.
Banyak umat Hindu dari berbagai aliran yang melaksanakan ritual keagamaan sehari-hari.[365][366] Banyak umat Hindu yang melaksanakannya di rumah,[367] tetapi pelaksanaannya berbeda-beda tergantung daerah, desa, dan kecenderungan umat itu sendiri. Umat Hindu yang saleh melaksanakan ritual sehari-hari seperti sembahyang subuh sehabis mandi (biasanya di kamar suci/tempat suci keluarga, dan biasanya juga diiringi dengan menyalakan pelita serta menghaturkan sesajen ke hadapan arca dewa-dewi), membaca kitab suci berulang-ulang, menyanyikan lagu-lagu pemujaan, meditasi, merapalkan mantra-mantra, dan lain-lain.[367] Ciri menonjol dalam ritual keagamaan Hindu adalah pembedaan antara yang murni dan sudah tercemar. Ada aturan yang mengisyaratkan bagaimana kondisi-kondisi yang dikatakan tercemar atau tak murni lagi, sehingga pelaksana upacara harus melakukan pembersihan atau pemurnian kembali sebelum upacara dimulai. Maka dari itu, penyucian—biasanya dengan air—menjadi ciri umum dalam kebanyakan aktivitas keagamaan Hindu.[367] Ciri lainnya meliputi kepercayaan akan kemujaraban upacara dan konsep pahala yang diperoleh melalui kemurahan hati atau keikhlasan, yang akan bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu sehingga mengurangi penderitaan di kehidupan selanjutnya.[367]
Ritus dengan sarana api (yadnya) kini tidak dilakukan sesering mungkin, meskipun pelaksanaannya sangat diagungkan dalam teori. Akan tetapi, dalam upacara pernikahan dan pemakaman adat Hindu, pelaksanaan yadnya dan perapalan mantra-mantra Weda masih disesuaikan dengan norma.[368] Beberapa upacara juga berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai contoh, pada masa beberapa abad yang lalu, persembahan tarian dan musik sakral menurut kaidah Sodasa Upachara yang standar—sebagaimana tercantum dalam Agamashastra—tergantikan oleh persembahan dari nasi dan gula-gula.
Peristiwa seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian melibatkan seperangkat tradisi Hindu yang terperinci. Dalam agama Hindu, upacara bagi "siklus kehidupan" meliputi Annaprashan (ketika bayi dapat memakan makanan yang keras untuk pertama kalinya), Upanayanam (pelantikan anak-anak kasta menengah ke atas saat mulai menempuh pendidikan formal), dan Śrāddha (upacara menjamu orang-orang dengan makanan karena bersedia melantunkan doa-doa kepada "Tuhan" agar jiwa mendiang mendapatkan kedamaian).[369][370] Untuk perihal pernikahan, bagi sebagian besar masyarakat India, masa pertunangan pasangan muda-mudi serta tanggal dan waktu pernikahan ditentukan oleh para orang tua dengan konsultasi ahli perbintangan.[369] Untuk perihal kematian, kremasi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kerabat mendiang, kecuali bila mendiang adalah sanyasin, hijra, atau anak di bawah lima tahun. Biasanya, kremasi dilakukan dengan membungkus jenazah dengan pakaian terlebih dahulu, lalu membakarnya dengan api unggun.

Ahimsa

Mahatma Gandhi adalah tokoh Hindu dari India yang memilih untuk menerapkan praktik ahimsa dalam upaya menentang pemerintah kolonial Inggris pada masa Gerakan Kemerdekaan India.
Umat Hindu menganjurkan praktik ahimsa (ahiṃsā; artinya "tanpa kekerasan") dan penghormatan kepada seluruh bentuk kehidupan karena mereka meyakini bahwa "percikan dari Tuhan" juga meresap ke dalam setiap makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan hewan.[371] Istilah ahimsa disebutkan dalam kitab-kitab Upanishad[372] dan wiracarita Mahabharata. Ahimsa adalah yang pertama di antara lima yama (pancayamabrata; lima prinsip pengendalian diri) dalam Yogasutra Patanjali,[373] dan menjadi prinsip pertama bagi seluruh anggota Warnasramadarma (brahmana, ksatria, waisya, dan sudra) menurut Manusmerti.[374]
Konsep ahimsa dalam Hinduisme tidak seketat agama Buddha dan Jainisme, karena jejak keberadaan praktik-praktik pengorbanan dapat ditelusuri dalam kitab-kitab Weda, contohnya mantra-mantra untuk kurban kambing (dalam Regweda),[375] kurban kuda (Aswameda, dalam Yajurweda), dan kurban manusia (Purusameda, dalam Yajurweda),[376] sedangkan dalam ritus Jyotistoma ada tiga hewan yang dikurbankan melalui upacara yang masing-masing disebut Agnisomiya, Sawaniya, dan Anubandya. Yajurweda dianggap sebagai Weda pengorbanan dan ritual,[377][378] serta menyebutkan beberapa ritus pengurbanan hewan, contohnya mantra dan prosedur pengurbanan kambing putih kepada Bayu,[379] seekor anak lembu kepada Saraswati, seekor sapi bertutul kepada Sawitr, seekor banteng kepada Indra, seekor sapi yang dikebiri kepada Baruna, dan lain-lain.[380]
Tanggapan yang menentang pelaksanaan kurban datang dari aliran Carwaka yang menuliskan kritik mereka dalam Barhaspatyasutra (abad ke-3 SM) sebagai berikut:
"Jika hewan yang dikurbankan dalam ritus Jyotistoma akan segera mencapai surga,
mengapa si pelaksana tidak segera mengurbankan ayahnya saja?"[381]
Pada masa perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di India, para raja Buddhis seperti Ashoka memengaruhi rakyatnya dengan larangan pelaksanaan kurban.[376] Pada masa pemerintahan Ashoka, sebuah titah diberlakukan dan dituliskan pada sebuah batu, dengan kata-kata sebagai berikut:
"Ini adalah titah dari orang yang disayangi para dewa, Raja Piyadasi. Tindak pembunuhan kepada hewan tidak boleh dilakukan untuk seterusnya."[376]
Dari sini, reaksi sosial berkenaan dengan kitab tata cara pengorbanan (Brahmana) dapat ditelusuri.[376] Menurut Panini, ada dua macam Brahmana, yaitu Brahmana Lama dan Brahmana Baru.[376] Dalam Brahmana Lama—seperti Aitareya Brahmana untuk Regweda—pengorbanan benar-benar dilakukan, namun dalam Brahmana Baru seperti Shatapatha Brahmana, hewan kurban dilepaskan setelah terikat pada tiang pengorbanan.[376] Hal ini merupakan reaksi dari kebangkitan agama-agama Sramana—seperti agama Buddha dan Jainisme—yang berakibat pada peletakan konsep ahimsa di kalangan praktisi kitab Brahmana.

Vegetarianisme

Masakan vegetarian khas India Utara yang disajikan di suatu restoran di Tokyo, Jepang.
Sesuai dengan konsep ahimsa, maka banyak umat Hindu yang mengikuti vegetarianisme (tidak makan daging) demi menghormati bentuk kehidupan yang tingkatannya tinggi. Sejumlah umat justru pantang makan daging hanya pada hari-hari tertentu. Budaya makan juga bervariasi sesuai komunitas dan kawasan. Sebagai contoh, beberapa kasta memiliki sedikit penganut vegetarianisme, sedangkan masyarakat pesisir cenderung bergantung kepada masakan laut.[382][383] Perkiraan jumlah lakto-vegetarian di India (mencakup umat seluruh agama di sana) bervariasi antara 20% dan 42%.[v]
Dalam agama Hindu, kemurnian makanan bersifat sangat penting karena ada keyakinan bahwa makanan mencerminkan tiga kualitas sifat (triguna) yang umum, yaitu: kesucian (satwam), semangat (rajas), dan kelambanan (tamas). Maka dari itu, aturan makan yang sehat akan menjadi sesuatu yang turut membersihkan hati seseorang.[384] Berdasarkan alasan tersebut, umat Hindu dianjurkan untuk menghindari atau meminimalkan konsumsi makanan yang tidak meningkatkan kebersihan hati. Beberapa contoh makanan yang dimaksud adalah bawang merah dan bawang putih, yang diyakini mengandung sifat rajas (keadaan yang dicirikan oleh sifat suka menentang dan egois), serta daging (daging dari hewan apa pun), yang diyakini mengandung sifat tamas (keadaan yang dicirikan oleh kemarahan, kerakusan, dan iri hati).[385]
Vegetarianisme dianjurkan oleh sejumlah aliran Hinduisme—meliputi Waisnawa dan Saiwa—yang melarang pengorbanan hewan,[386] tetapi tidak dianjurkan oleh aliran Hinduisme yang mengizinkan pengorbanan hewan.[387] Pada umumnya, pengorbanan hewan dilakukan oleh umat Hindu dari aliran Sakta,[388] (beberapa) komunitas Hindu dari golongan sudra dan kesatria,[389][390] penganut aliran Hinduisme di India Timur,[387] serta penganut aliran Hinduisme di Asia Tenggara.[391]
Pada umumnya, umat Hindu yang mengonsumsi daging tidak akan mau memakan daging sapi. Dalam masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai pengasuh manusia serta merupakan figur keibuan,[392] dan mereka menghormatinya sebagai lambang kasih tak bersyarat.[393] Maka dari itu, praktik penyembelihan sapi dilarang secara resmi di hampir seluruh negara bagian di India.[394]
Pada masa kini, ada banyak kelompok keagamaan Hindu yang menekankan praktik vegetarianisme yang ketat. Salah satu contoh yang terkenal adalah gerakan ISKCON (International Society for Krishna Consciousness), yang mewajibkan pengikutnya untuk tidak hanya pantang makan daging (termasuk ikan dan unggas), tetapi juga menghindari sayuran/tumbuhan tertentu yang dianggap dapat memberikan pengaruh negatif, seperti bawang merah, bawang putih,[384] dan jamur.[395] Contoh yang kedua adalah gerakan Swaminarayan. Pengikut gerakan ini juga sangat setia untuk tidak mengkonsumsi daging, telur, dan ikan.[396]

Pertapaan

Tiga petapa Hindu di Lapangan Durbar, Kathmandu.
Sejumlah umat Hindu memilih untuk hidup sebagai petapa (Sanyāsa) dalam upaya mencapai "moksa" atau pun bentuk kesempurnaan spiritual lainnya. Para petapa berkomitmen untuk hidup sederhana, tidak berhubungan seksual, tidak mencari harta duniawi, serta berkontemplasi tentang Tuhan.[397] Petapa Hindu disebut sanyasin, sadu, atau swāmi, sedangkan yang wanita disebut sanyāsini.
Orang yang melepaskan diri dari ikatan duniawi memperoleh respek yang tinggi dalam masyarakat Hindu karena egoisme dan ikatan duniawi yang mereka lepaskan menjadi inspirasi bagi umat yang masih berkeluarga untuk berjuang dalam pengendalian pikiran. Beberapa petapa tinggal di tempat suci atau asrama, sedangkan yang lainnya berkelana dari satu tempat ke tempat lain dengan keyakinan bahwa hanya Tuhan yang dapat memenuhi keinginan mereka.[398] Bagi umat Hindu awam, menyediakan makanan dan kebutuhan untuk para petapa atau sadu merupakan jasa yang sangat besar. Sebaliknya, para sadu menerimanya dengan rasa hormat dan simpati—tanpa memedulikan orang miskin atau kaya, baik atau jahat—tanpa perlu memuji, mencela, menunjukkan rasa senang, atau pun sedih.[397]

Tempat suci

Tempat suci atau tempat peribadatan umat Hindu pada umumnya disebut kuil. Beberapa istilah lokal untuk menyebut tempat suci Hindu meliputi candi, pura, mandir, devasthana, ksetram, dharmakshetram, koil, deula, wat, dan bale keramat. Pembangunan kuil dan tata cara persembahyangan diatur dalam beberapa kitab berbahasa Sanskerta yang disebut Agama, yang berhubungan dengan dewa-dewi individual. Ada perbedaan substansial dalam arsitektur, adat, ritual, dan tradisi mengenai kuil di berbagai wilayah India.[399]
Umat Hindu dapat menyelenggarakan puja (persembahyangan atau kebaktian) di rumah atau kuil. Untuk peribadatan di rumah, biasanya umat Hindu membuat kamar suci atau kuil kecil dengan ikon atau altar yang didedikasikan bagi dewa atau dewi tertentu (istadewata), misalnya Kresna, Ganesa, Durga, dewa-dewi lokal, atau entitas lainnya yang dihormati (misalnya leluhur atau roh pelindung). Umat Hindu melakukan persembahyangan melalui suatu murti atau pratima, dapat berupa arca, lingga, atau sesuatu lainnya—sebagai lambang dari dewa yang dipuja—yang disakralkan/disucikan terlebih dahulu melalui suatu upacara.
Biasanya, bangunan kuil didedikasikan sebagai tempat pemujaan kepada suatu dewa utama beserta dewa-dewi sekunder yang terkait. Adapula bangunan kuil yang didedikasikan untuk beberapa dewa sekaligus. Bagi sebagian besar umat Hindu di India, mengunjungi kuil bukanlah suatu kewajiban,[400] dan banyak umat yang mengunjungi kuil hanya pada saat ada perayaan/hari raya. Murti atau pratima dalam kuil berperan sebagai medium antara umat dan Tuhan.[401] Pencitraan murti dianggap sebagai perwakilan atau manifestasi dari Tuhan, sebab umat Hindu meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana. Meskipun demikian, ada golongan umat Hindu yang tidak melakukan persembahyangan dengan murti dalam bentuk apa pun; contoh yang terkemuka adalah aliran Arya Samaj.

Simbolisme

Dalam agama Hindu ada aturan tentang simbolisme dan ikonografi untuk ditampilkan dalam karya seni, arsitektur, dan pustaka yang disakralkan. Makna simbol-simbol tersebut dicantumkan dalam kitab suci, mitologi, serta tradisi masyarakat. Suku kata om (yang melambangkan Parabrahman) dan swastika (yang melambangkan keberuntungan) telah berkembang (dalam sejarahnya) sebagai lambang bagi agama Hindu, sedangkan petanda lainnya seperti tilaka memberi ciri mengenai aliran atau kepercayaan yang dianut. Umat Hindu juga menyangkutpautkan beberapa simbol—meliputi bunga teratai (padma), cakra, dan veena—dengan dewa-dewi tertentu.

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Ada sejumlah pakar yang menilai "ketuaan" agama Hindu di dunia. Agama Hindu sebagai "agama tertua" dinyatakan oleh:
    • Fowler: "probably the oldest religion in the world (mungkin merupakan agama tertua di dunia)"[2]
    • Gellman & Hartman: "Hinduism, the world's oldest religion (Hinduisme, agama tertua di dunia)"[3]
    • Stevens: "Hinduism, the oldest religion in the world (Hinduisme, agama tertua di dunia)"[4]
    • Sarma: "The ‘oldest living religion’ (agama tertua yang masih bertahan)"[5]
    • Meriam-Webster & Klostermaier: "The ‘oldest living major religion’ in the world (salah satu agama besar yang paling tua dan masih bertahan di dunia)"[6][7]
    • Laderman: "World's oldest living civilisation and religion (agama dan peradaban tertua di dunia yang masih bertahan)"[8]
    • Turner: "It is also recognized as the oldest major religion in the world (Ia [Hindu] juga dipahami sebagai salah satu agama besar dunia yang tertua)"[9]
    Di sisi lain, Smart menyebut agama Hindu sebagai salah satu agama termuda: "Hinduism could be seen to be much more recent, though with various ancient roots: in a sense it was formed in the late 19th Century and early 20th Century (Hinduisme terlihat lebih segar seperti sekarang, kendati berasal dari sumber-sumber kuno: dalam pengertian bahwa ia dikukuhkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20)"[10]
    Bandingkan pula dengan:
  2. ^ Hindu juga dikenal dengan Hindū-dharma atau Vaidika-dharma dalam beberapa bahasa India modern, seperti bahasa Hindi, Bahasa Bengali, dan beberapa turunan Bahasa Indo-Arya, juga beberapa dialek Bahasa Dravida seperti Bahasa Tamil dan Bahasa Kannada.
  3. ^ Kata Sindhu pertama kali disebutkan dalam Regweda.[17][18]
  4. ^ Teks asli dalam Encyclopaedia Britannica: The term has also more recently been used by Hindu leaders, reformers, and nationalists to refer to Hinduism as a unified world religion. Sanatana dharma has thus become a synonym for the “eternal” truth and teachings of Hinduism, the latter conceived of as not only transcendent of history and unchanging but also as indivisible and ultimately nonsectarian.
  5. ^ Menurut King (2001), menekankan pengalaman sebagai pembenaran bagi pandangan global religius merupakan suatu gagasan yang dikembangkan pada masa modern, yang dimulai sejak abad ke-19, dan diperkenalkan kepada bangsa India oleh misionaris Unitarianisme dari barat.[38] Istilah pengalaman religius juga ditulis oleh James (seperti dikutip Hori, 1999), dalam bukunya, The Varieties of Religious Experience.[39]
  6. ^ Teks asli: Starting from the Vedas, Hinduism has ended in embracing something from all religions, and in presenting phases suited to all minds. It is all tolerant, all-compliant, all-comprehensive, all-absorbing.[40]
  7. ^ Teks asli: Unlike other religions in the World, the Hindu religion does not claim any one Prophet, it does not worship any one God, it does not believe in any one philosophic concept, it does not follow any one act of religious rites or performances; in fact, it does not satisfy the traditional features of a religion or creed. It is a way of life and nothing more.
  8. ^ Teks asli: As a counteraction to Islamic supremacy and as part of the continuing process of regionalization, two religious innovations developed in the Hindu religions: the formation of sects and a historicization which preceded later nationalism [...] [S]aints and sometimes and sometimes militant sect leaders, such as the Marathi poet Tukaram (1609-1649) and Ramdas (1608-1681), articulated ideas in which they glorified Hinduism and the past. The Brahmans also produced increasingly historicizing texts, especially eulogies and chronicles of sacred sites (Mahatmyas), or developed a reflexive passion for collecting and compiling extensive collections of quotations on various subjects.
  9. ^ Di samping konsep Brahman, agama Hindu mengenal ratusan dewa dan dewi secara harfiah. Maka dari itu, agama Hindu [dapat disebut] politeistis. Akan tetapi, umat Hindu menganggap bahwa seluruh dewa-dewi tersebut merupakan awatara, atau perwujudan dari Brahman.[185]
  10. ^ Michaels menyebut Flood 1996[235] sebagai acuan bagi periodisasi "Agama-agama Praweda".[236]
  11. ^ Smart membedakan "Brahmanisme" dengan agama Weda, karena "Brahmanisme" dihubungkan dengan Upanishad.[240]
  12. ^ Bangsa Elamo-Dravida disebut dengan nama ini untuk membedakannya dengan bangsa Dravida masa kini yang menduduki India, yang didominasi oleh keturunan ras Australoid
  13. ^ Menurut Jones & Ryan: "Beberapa praktik Hinduisme pastilah berasal dari zaman neolitik (kr. 4000 SM). Sebagai contoh, pemujaan tumbuhan dan hewan tertentu karena dianggap suci, kemungkinan besar sudah ada sejak zaman kuno. Demikian pula pemujaan dewi-dewi, suatu bagian agama Hindu masa kini, mungkin merupakan fitur yang sudah ada sejak zaman neolitik."[254]
  14. ^ Tidak ada tahun pasti yang memungkinkan sebagai awal periode Weda. Witzel menyebutkan jangka waktu antara 1900 dan 1400 SM.[259] Flood menyebutkan 1500 SM.[232]
  15. ^ Menurut Michaels: "Mereka menyebut diri sebagai arya (secara harfiah berarti "ramah," dari kata arya dalam Weda, artinya "nyaman, murah hati") tetapi dalam Regweda, arya juga berarti batas budaya dan bahasa dan tidak hanya terbatas bagi ras."[261]
  16. ^ Menurut T. Oberlies,[271] jangka waktu 1700–1100 SM ditentukan berdasarkan bukti-bukti kumulatif.
  17. ^ Brahman-Arya di sini adalah Brahmanisme dan kebudayaan bangsa Arya.
  18. ^ Teks asli: Jainism does not derive from Brahman-Aryan sources, but reflects the cosmology and anthropology of a much older pre-Aryan upper class of northeastern India - being rooted in the same subsoil of archaic metaphysical speculation as Yoga, Sankhya, and Buddhism, the other non-Vedic Indian systems.
  19. ^ Teks asli: The Brahmanists themselves seem to have encouraged this development to some extent as a means of meeting the challenge of the more heterodox movements. At the same time, among the indigenous religions, a common allegiance to the authority of the Veda provided a thin, but nonetheless significant, thread of unity amid their variety of gods and religiou practices.
  20. ^ Teks asli: Some incarnations of Vishnu such as Matsya, Kurma, Varaha and perhaps even Nrsimha helped to incorporate certain popular totem symbols and creation myths, specially those related to wild boar, which commonly permeate preliterate mythology, others such as Krsna and Balarama became instrumental in assimilating local cults and myths centering around two popular pastoral and agricultural gods.
  21. ^ Menurut Venkataraman dan Deshpande: "Diskriminasi berdasarkan kasta masih ada di benyak wilayah India masa kini … Diskriminasi berdasarkan kasta pada dasarnya bertentangan dengan ajaran esensial kitab suci Hindu bahwa sifat-sifat ketuhanan terdapat dalam setiap makhluk."[356]
  22. ^ Survei mengenai kebiasaan makan di India berdasarkan: "pertumbuhan sektor peternakan dan unggas di India", "pola konsumsi masyarakat India", dan "reformasi pertanian di India". Hasil mengindikasikan bahwa orang India jarang memakan daging, dengan persentase kurang dari 30% penduduk mengonsumsi makanan non-vegetarian sesering mungkin, meskipun alasan di balik itu mungkin mengarah ke sikap ekonomis.

Catatan kaki